Put, ijinkan aku mengapresiasi dua puisimu yang dimuat di Radar Mojokerto baru-baru ini. Secara lisan, aku sudah memberi apresiasi ketika usai jam pelajaran beberapa waktu lalu. Namun, masih kurang lengkap rasanya. Tulisan ini untuk melengkapinya.
Aku sih sebenarnya gak sengaja baca puisimu itu. Saat itu aku masih dalam pemulihan tenaga usai rawat inap di RS. Iseng-iseng, aku baca lagi koran lusuh yang kubeli beberapa hari sebelumnya. Eh, mataku langsung terbelalak membaca namamu muncul di rubrik puisi. Kubaca larik demi larik.
Puisi pertama yang berjudul Inosen Kepedihan sangat mengiris hatiku. Ketika aku baca puisi itu aku sangat merasakan apa yang kamu lukiskan. Bagaimana rasanya aku dibekap dengan tabung oksigen tapi tetap dadaku sesak. Aku pernah merasakan itu. Aku dapat pula merasakan bagaimana saat aku harus pasrah ketika pembuluh venaku dicubles dengan jarum infus. Aku dapat pula merasakan bagaimana tubuhku dirobek, dan aku hanya pasrah.
Dan mengakhiri puisimu, kamu menyebutkan sebuah kalimat yang mengejutkan: kadang aku membayangkan sebagai sebatang pohon kelapa di tengah lautan. Ini adalah akhir puisi yang mengejutkan dan menyayat.
Sedangkan puisi kedua, cukup unik. Kamu pinter membuat metafora. Cinta yang lagi redup kamu gambarkan sebagai bulan pucat yang terhalang awan malam. Ternyata kisahnya adalah tentang sang kekasih yang balik pada wanita lama. Ah, CLBK: Cinta Lama Bersemi Lagi. Siapa itu wanita lama, Put? Dan siapa yang lagi mengalami redup cinta? Kok, kamu ceritanya bikin orang trenyuh kayak begitu? Pertama, kamu membayangkan sebagai sebatang pohon kelapa di tengah lautan. Kedua, bulan redup gara-gara CLBK? Emang itu kisah nyata?
Apa pun itu, aku bisa turut merasakannya. Kadang, kepedihan itu memang harus tetap kita rasakan dan kita nikmati. Itu semua untuk mengingatkan kita kepada Yang Maha Kuasa. Mungkin begitu!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar