Kamis, 04 Desember 2008

Sepotong Surat dari Porong


MULYOTO

Surat ini kutujukan buat siapa saja yang masih mampu mendengar
Detak jantungnya sendiri
Mampu mendengar tembang lirih dari relung hati

Kami anak-anak Jatirejo, Renokenango, Siring, dan desa-desa yang
Kena luberan lumpur panas
Apa salah kami hingga sekolah, rumah dan tempat bermain kami tenggelam

Apa salah kami,
Pagi-pagi kami melihat semuanya lenyap
Tinggal bayang-bayang kenangan yang bikin kami hilang

Apa salah kami?
Hingga burung-burung gagak berputar-putar
Di atas desa kami
Dengan suaranya yang serak?
Sedang kami hanya mampu melihatnya dengan penuh tanda tanya

Sepotong surat ini,
Kukirim buat Bapak Presiden
Yang terhormat

Mohon kiranya berkenan
Memberi solusi
Atas apa yang menimpa kami

Kami anak-anak adalah generasi sah negeri ini
Yang berhak hidup layak
Tidak seperti di pengungsian yang kotor dan lembab

Bapak Presiden,
Lihatlah, demi cinta kami kepada Bapak,
Kami tidak rela foto bapak tenggelam juga dalam lumpur
Bapak juga mencintai kami, bukan?
Kami adalah anak-anak pemilik sah negeri ini

Mengembangkan Pariwisata Ramah Lingkungan di Pacet

Oleh Mariatul Qibthiyah
Siswi Kelas X SMA Al-Multazam

Pacet, merupakan salah satu daerah di Mojokerto yang terkenal dengan pariwisata ramah lingkungan. Antara lain Taman Ubalan, Pemandian Air Panas, dan Air Terjun Coban Canggu. Tidak hanya objek pariwisata itu saja, tetapi pemandangan dan suasana alamnya yang sejuk dan asri membuat orang tertarik untuk mengunjunginya.

Memang, tempat wisata itu cocok buat refreshing, penghilang rasa jenuh, atau seringkali sebagai tempat berkemah dan outbond bagi para pelajar.
Tapi, kini ketertarikan pengunjung terhadap objek wisata pacet menurun. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan oleh kurangnya perhatian pemerintah dan kesadaran masyarakat terhadap kelestarian alam tersebut.
Ubalan, salah satunya. Objek pariwisata tersebut memang dulunya penuh dengan wisatawan. Tapi, sekarang pengunjung pada hari biasa hanya berkisar sebanyak 10-50 orang per hari.
Yang menyebabkan berkurangnya pengunjung adalah wahana permainan yang berkurang dan tidak terawatnya pemandangan. Seperti kolam renang yang kotor dan permainan air yang banyak rusak. Begitu pun Air Terjun Coban Canggu yang sekarang menjadi salah fungsi. Objek pariwisata ini kebanyakan dipenuhi oleh pemuda-pemudi yang berpacaran atau pun berhubungan seks.
Ditambah lagi dengan penebangan pohon secara liar dan pembakaran hutan yang menyebabkan hutan menjadi gundul. Memang, penebangan pohon bertujuan untuk membuka lahan baru untuk pembangunan villa. Tetapi dengan adanya seperti itu malah membuat paru-paru dunia menjadi tak berfungsi karena tidak diadakan reboisasi atau tebang pilih.
Akibatnya terjadilah berbagai bencana alam karena daya resap air pada pohon berkapasitas kecil. Seperti longsor yang terjadi sekitar 5 tahun silam yang memakan banyak korban. Tidak cukup sampai di situ, tetapi juga mengakibatkan banjir lumpur yang meluap sampai daerah Sooko dan sekitarnya.
Untuk itu, pemerintah seharusnya turut campur tangan dengan adanya masalah seperti ini. Tetapi, masyarakat juga harus turut terlibat dalam melestarikan lingkungan hidup.
Pemerintah sebenarnya mempunyai banyak program tentang pengembangan wisata di Mojokerto. Pemandian Air Panas misalnya, kini pemerintah berusaha dengan maksimal untuk memperbaiki wanawisata tersebut pasca longsor.
Selain itu, pemerintah juga mempunyai rencana untuk membangun “Jatim Park 3” di Desa Cembor, Pacet. Yang lebih mengutamakan nilai natural alamnya dan ditambah dengan wahana permainan seperti Jatim Park lainnya.
Ini merupakan berita hangat bagi masyarakat Mojokerto sendiri karena apabila program tersebut terlaksakan, maka akan membawakan pendapatan yang sangat besar sekaligus memperkenalkan Mojokerto kepada masyarakat luar bahwa Mojokerto merupakan kota pariwisata.
Ada juga rencana pembangunan wisata air bernama Arung Jeram sepanjang 2-3 km di aliran Kali Kromong. Sungguh menarik bukan ? Tetapi, semua rencana itu masih dalam tahap “Pembuatan Proposal”.
Memang banyak sekali kendala-kendala dalam pembangunan pariwisata tersebut. Antara lain memerlukan dana yang cukup besar dan Sumber Daya Manusia yang kurang mendukung.
Alangkah baiknya apabila terdapat “Kelompok Sadar Wisata” yang menarik kesadaran masyarakat terhadap Pariwisata Hijau Pacet. Seperti aktivitas ramah tamah terhadap wisatawan lokal dan asing, penjualan bahan makanan yang higienis, perawatan kebersihan lingkungan, dan kelestarian alam.
Dengan adanya perhatian lebih dari pemerintah dan kesadaran masyarakat akan mendukung terwujudnya pembangunan pariwisata ramah lingkungan. “Sadar wargaku, lestari alamku”.

Mencari Ikon Baru untuk Mojokerto

Risyda Zulfiyatush Sholihah
Siswa Kelas XI SMA Al-Multazam

Mojokerto adalah salah satu daerah yang berada di Propinsi Jawa Timur. Sebuah daerah yang tidak terlalu besar tetapi pernah meraih Adipura. Meskipun tidak terlalu besar, tidak disangka kota ini memeiliki potensi besar sebagai pengembangan pariwisata dalam negeri.
Konon, Mojokerto terkenal sebagai “Kota Onde – Onde”. Hal itu dikarenakan makanan khas Mojokerto adalah onde–onde. Selain itu, masyarakat daerah lain mengenal bahwa onde–onde itu lahir dari Mojokerto. Jadi sudah selayaknya onde–onde dijadikan sebagai ikon Mojokerto.
Tetapi pada kenyata-annya pada saat ini, seiring perkembangan zaman onde–onde sudah terkikis keberadaannya. Kentucky, pizza, spaghetty, hamburger dan lain – lain adalah sebagian contoh dari beribu makanan asing yang telah menggeser posisi onde – onde.
Hal itu sudah tidak bisa disangkal lagi karena kebanyakan masyarakat terutama remaja akan merasa bangga kalau mereka dapat atau pernah mengkonsumsi makanan–makanan asing tersebut daripada onde – onde yang notabenenya merupakan ikon daerah sendiri.
Hal ini memang kecil kelihatannya, tetapi apabila hal itu terus dibiarkan maka secara berangsur–angsur kebanggaan kita akan ikon onde–onde akan terkikis dan lama kelamaan akan menjadi hilang.
Memang tidak seharusnya kita menutup diri dari budaya asing dari segi apapun tetapi alangkah arifnya apabila sebagai generasi muda bangsa dapat mengontrol diri untuk mempertahankan ikon Mojokerto.
Hingga kini ikon Mojokerto “Onde–Onde” hanya tinggal namanya saja, tanpa ada kebanggaan yang terkandung di dalamnya. Baru –baru ini muncul isu ikon baru untuk Mojokerto, yaitu Mojokerto sebagai “ Kota Sepatu”. Hal ini dikarenakan kebanyakan para wirausahawan di Mojokerto membuka usaha industri sepatu sehingga kini Mojokerto terkenal karena produksi sepatunya.
Tetapi ikon “Kota Sepatu” bagi Mojokerto agaknya kurang tepat karena sepatu di Mojokerto belum mempunyai ciri khas. Selain itu, masih banyak daerah lain yang terkenal karena sepatunya. Misalnya Sidoarjo, Surabaya, dan Jombang. Bahkan kota tersebut lebih besar dan lebih terkenal akan produksi sepatunya daripada Mojokerto. Dengan demikian, “Kota Sepatu” sebagai ikon Mojokerto sebenarnya kurang tepat karena hal ini tidak menampakkan kekhasan dari Mojokerto. Hal ini dapat dijadikan nilai minus bagi Mojokerto.

Ikon Baru
Ikon adalah suatu lambang yang mengandung nilai kebanggan yang tersirat di dalamnya. Jadi apabila ingin mencari ikon bagi Mojokerto maka sudah seharusnya kita menelaah atau mengambil dari apa yang telah dimiliki oleh Mojokerto.
Sampai saat ini Mojokerto terkenal sebagai daerah yang menjadi pusat Kerajaan Mojopahit. Kerajaan yang pernah jaya menguasai Nusantara di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk dan patihnya, Gajah Mada. Trowulan sebagai pusat kerajaan Mojopahit tentunya memiliki nilai historis yang tinggi. Dari Trowulan inilah nantinya dapat dikembangkan sebagai wisata budaya di Mojokerto. Karena selain memiliki nilai historis yang tinggi, masyarakat di Indonesia bahkan dunia mengenal bahwa pusat Kerajaan Mojopahit itu dulunya ada di Mojokerto. Jadi dari sini dapat disimpulkan bahwa Mojokerto mendapatkan ikon baru yaitu “Mojokerto sebagai Wisata Mojopahit”.
Di daerah Trowulan banyak sekali masyarakat yang menjalani usaha sebagai pemahat patung. Jika dilihat dari sisi ekonomi, tentu ini akan turut menambah devisa Mojokerto.
Tetapi dalam segi pariwisatanya, tentu hal ini merupakan fenomena yang bagus. Dari kenyataan yang ada, para pemahat patung tersebut memang mempunyai andil yang besar bagi majunya wisata majapahit Mojokerto karena dulunya Mojopahit adalah kerajaan hindu. Tetapi banyak patung – patung pahatan mereka yang dikirimkan ke luar jawa atau bahkan ke luar negeri. Kebanyakan dari mereka mengirim patung – patung tersebut ke Bali. Dan di Bali, patung – patung tersebut dikumpulkan untuk mengadakan pameran budaya Mojopahit.
Padahal pada kenyataannya, para pemahat patung masyarakat Bali itu tidak bisa memahat patung sebagus apa yang telah dipahat oleh orang Mojokerto. Hal ini dapat membahayakan bagi Mojokerto dari segi apapun. Dari segi devisa, Mojokerto akan kehilangan kesempatan untuk dikenal dan diakui oleh masyarakat dunia sebagai sentral Kerajaan Mojopahit. Sehingga itu dapat meminimaliskan para wisatawan asing maupun wisatawan domestik yang ingin mengetahui tentang Mojopahit.
Dari segi budaya, tentu hal itu mempunyai dampak negatif yang besar karena secara tidak langsung budaya itu kan hilang dan tamatlah ikon “Mojokerto sebagai Wisata Mojopahit”.
“Hingga kini ikon Mojokerto “Onde–Onde” hanya tinggal namanya saja, tanpa ada kebanggaan yang terkandung di dalamnya. Baru –baru ini muncul isu ikon baru untuk Mojokerto, yaitu Mojokerto sebagai “ Kota Sepatu”. Hal ini dikarenakan kebanyakan para wirausahawan di Mojokerto membuka usaha industri sepatu sehingga kini Mojokerto terkenal karena produksi sepatunya.”
Dalam rangka mengembangkan wisata Mojopahit, alangkah baiknya apabila pemerintah mau mengulurkan tangannya bagi para pemahat patuung tersebut. Misalnya dengan cara mengumpulkan para pemahat kayu dalam satu forum dan dari hasil pahatan tersebut akan diadakan pameran patung yang identik dengan budaya Indonesia. Program ini tentunya memiliki banyak dampak positif misalnya para pemahat patung tersebut akan merasa terbantu dari segi ekonomi kehidupan dan dalam diri mereka nantinya akan muncul rasa kebanggaan tersendiri karena mereka ikut andil dalam melestarikan budaya Mojopahit yang dibanggakan oleh Mojokerto.
Dari segi pemerintah pun memiliki dampak yang positif juga. Misalnya pemerintah dapat turut andil dalam memecahkan masalah pengangguran karena para pemahat patung tersebut tentunya akan merasa dipandang dan diperhatikan apabila mereka dikumpulkan dalam suatu lembaga yang bergerak dalam kesenian pahat memahat.
Jadi mereka akan merasa bangga dan apabila mereka merasa bangga maka akan tumbuh kreativitas yang lebih menarik lagi dan akan tercipta keindahan untuk mempercantik peninggalan Mojopahit tersebut. Selain itu dapat juga menambah pemasukan bagi pemerintah daerah Mojokerto karena dari patung – patung yang telah mereka pahat dapat dikumpulkan dan dapat diadakan pameran patung. Dari pameran itulah akan banyak para wisatawan baik itu wisatawan domestik maupun wisatawan asing yang berkunjung untuk melihat pameran patung tersebut.
Dengan demikian, ikon Mojokerto yang sesungguhnya adalah Wisata Mojopahit karena tidak ada daerah di bumi pertiwi ataupun di daerah belahan dunia yang lain yang memiliki peninggalan Kerajaan Mojopahit yang lebih tinggi dari Mojokerto.
Bagaimana pendapat Anda? []

Blog sebagai Media Pembelajaran


MULYOTO

Di samping membawa dampak negatif, teknologi internet sebenarnya juga menawarkan banyak hal positif. Lewat website pribadi (blog), misalnya, kita dapat mempublikasikan pikiran kita secara bebas dalam waktu cepat yang bisa diakses secara luas. Interaksi antarblogger sebagai sesama insan belajar terjadi dengan intensif, melampaui batas-batas ruang dan waktu.

Dalam konteks pembelajaran berbasis baca tulis, media blog layak untuk kita akomodasi dalam kegiatan pembelajaran. Teknisnya, siswa diberi tugas untuk mencari dan membaca informasi dari internet. Selanjutnya, hasil bacaannya itu harus ditulis dan dipublikasikan ke dalam blog.

Istilah pembelajaran berbasis baca tulis ini saya adopsi dari istilah Hernowo yang terkenal dengan teknik mengikat makna. Menurutnya, untuk dapat mengikat makna dari apa-apa yang kita baca, kita harus melanjutkan kegiatan membaca itu dengan menulis.
Ternyata, cara ini cukup efektif. Saya telah mencoba menerapkan metode pembelajaran ini dalam kegiatan ekstrakurikuler jurnalistik di SMP Negeri 1 Kota Mojokerto pada kelas SBI (Sekolah Bertaraf Internasional). Terlihat jelas, kegiatan belajar menjadi hidup. Siswa terpacu untuk mengekspresikan diri dalam bentuk tulisan, baik berita, opini, puisi, kisah pribadi, dan sebagainya.

Untuk menghasilkan tulisan, aktivitas membaca yang dilakukan siswa tidak sekadar bersifat konsumtif. Kegiatan mereka adalah kegiatan produktif, yaitu menghasilkan karya tulis. Akibatnya, secara bertahap kualitas intelektual siswa meningkat. Ini terlihat dari kemampuan mereka membuat tulisan yang runtut, logis dan sistematis.

Awalnya, tulisan siswa memang terkesan seadanya. Ada yang sekadar mem-publish puisi cinta. Ada yang mencoba menulis berita bercampur opini tentang kegiatan sekolah. Bahkan ada yang menulis kisah sedih tentang temannya yang menderita leukimia.
Jangan dipatahkan dengan vonis jelek. Beri apresiasi secara positif. Ungkap kelebihan-kelebihannya, dan beri motivasi untuk membuat tulisan yang lebih baik. Begitu seterusnya, melalui latihan berulang-ulang, siswa akan mengalami kemajuan yang pesat.

Harus diakui, selama ini dunia pendidikan kita belum banyak memberi ruang ekspresi bagi anak didik. Pembelajaran sering berjalan satu arah: dari guru ke siswa. Dalam pembelajaran seperti ini, anak didik diperlakukan sebagai botol kosong yang mesti diisi oleh guru. Siswa sebagai pencari ilmu bersikap menunggu.

Maka, hasilnya adalah anak-anak yang manis tapi gagu menatap masa depan. Ketika lulus dan mendapati dunia kerja yang jauh dari bayangan, mereka tidak mampu berbuat apa-apa. Alih-alih menciptakan lapangan kerja, mereka menjadi pengangguran yang menjadi beban negara.

Tentu, metode pembelajaran yang demikian harus kita ubah. Di era informasi, dunia berubah dengan sangat cepat. Ilmu pengetahuan dan teknologi sama cepatnya bergerak maju. Dalam kondisi begini, tentu tidak relevan lagi kita menjejalkan ilmu kepada anak didik. Yang terpenting, anak didik harus memiliki ketrampilan mencari dan mengembangkan ilmu itu secara mandiri.

Nah, pembelajaran yang merangsang siswa untuk berpikir melalui media blog, kiranya bisa dijadikan salah satu alternatif. Bagaimana menurut Anda?

(Dimuat di Surya, 3 Desember 2008)