Oleh Putri Rizkiyah
Kau dan aku berjalan, terbang
Bersama angin dan ombak
Mungkin memang jauh
Bersimponi merah–putih
Tapi, alangkah indahnya cahaya matahari
Bersinar lurus bersama pelangi
“Hah!!!”
“Sama loe!”
“Ama loe!”
Ashiel dan Franz, dua makhluk bermusuh bebuyutan di sekolah, saling berhadap-hadapan tak percaya. Antara bahagia dan kaget setengah mati mereka mendengar perkataan Pak Didit barusan. Bayangkan saja, Ashiel dan Franz murid SMA-Q yang tak pernah akur dan selalu berbeda paham. Sekarang diminta oleh Pak Didit untuk bersama - sama mengikuti Lomba Desain Grafis tingkat nasional. Lebih parahnya lagi, mereka harus jadi satu tim!
Apa itu nggak gila namanya?
Memang sih, dari dulu Ashiel ingin sekali mengikuti Lomba Desain Grafis tingkat nasional. Melakukan sesuatu dari dunianya. Dunia di mana Ashiel dapat merasakan betapa manis suka-dukanya apabila dia dapat melakukan sesuatu yang dia senangi untuk kado kecil bagi tiap orang yang tercinta. Pasti itu bakal menjadi suatu hal yang sangat menyenangkan baginya.
Tapi sekarang apa yang harus dilakukan oleh Ashiel? Pasti semua mimpi indah itu akan hancur. Ashiel nggak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi nanti. Baru ketemu aja, mareka pasti bakal berantem. Apalagi kalau jadi satu tim. Semuanya bakal kacau! Padahal hanya di sinilah harapan Ashiel bisa tercapai.
Ashiel membalikkan mukanya cepat menghadap ke arah Pak Didit. “Pak, masak saya harus sama Franz, sih?” protes Ashiel tak terima. “Apa nggak bisa diganti yang lain?”
“Iya Pak, masa saya harus sama si cewek super sok ini sih, Pak?” Franz tak mau kalah dan langsung menyebut julukan yang biasa ia gunakan untuk Ashiel. Julukan yang selalu ia pakai sejak kejadian tujuh tahun yang lalu. Saat Ashiel dan Franz masih berumur sepuluh tahunan.
Saat itu Franz kecil yang baru saja pindah rumah diajak oleh kedua orang tuanya untuk bertamu ke rumah sebelah. Rumah sahabat lama kedua orang tuanya, yang tak lain adalah rumah kedua orang tua Ashiel.
Entah kenapa, sejak pertemuan awal mereka di rumah Ashiel itu, mereka selalu saja berbeda pendapat dan pikiran. Sehingga hanya pertengkaran-pertengkaranlah yang terjadi di antara mereka. Itu membuat kedua orang tua mereka yang begitu akrab menjadi merasa aneh dan tak habis mengerti.
Sampai akhirnya kedua orang tua mereka tak tahan lagi untuk melihat dan mendengar tiap pertengkaran yang tak ada habisnya itu. Orang tua mereka sepakat untuk berusaha dengan sekuat tenaga, menyatukan hubungan Ashiel dan Franz.
”Perbedaan itu sebetulnya indah dan menyenangkan. Asal kita mau berusaha untuk menghargai tiap perbedaan yang ada. Lihatlah pelangi! Terdiri dari berbagai warna, berpadu dengan indahnya. Meski berbeda, warna-warna itu menyatu sebagai spektrum cahaya matahari. Cahaya yang menyinari kehidupan!” nasehat ayah Franz. Panjang lebar.
Toh, semua itu gagal. Ashiel dan Franz selalu saja menutup hati dan telinga mereka. Demi rasa gengsi dan harga diri yang terlalu tinggi.
***
“Wah, kala saya mesti satu tim dengan cewek super sok ini, bisa kacau nanti ceritanya, Pak! ”
“Eh, apa Loe bilang tadi? Cewek super sok? Coba ulangin!”
“Ce-wek su-per sok ! Loe tuh cewek super sok!”
“Enak aja,” bantah Ashiel. “Loe tuh cowok super amburadul! Ngatain orang sembarangan.”
“Tapi kenyataanya emang gitu kan?” ejek Franz. “Loe emang super SOK!”
“Loe tuh super amburadul!.”
“Loe super sok.”
“Loe super amburadul .”
“Loe super sok .”
“Loe super amburadul .”
“Sudah, sudah !” lerai Pak Didit akhirnya. “Kalian ini, masih saja bertengkar dan bertengkar. Padahal di dalam lomba yang akan kalian ikuti nanti, di sana sangat dibutuhkan yang namanya kekompakan, kalian mengerti, kan? Tapi kok masih saja bertengkar terus.”
“Tapi, Pak,” sahut Ashiel Dan Franz berbarengan.
“Sudah, tak ada tapi-tapian . Ini sudah keputusan sekolah yang tak bisa di ganggu gugat. Fi-nal!”
“Final… .”
“Final… .”
▪☺☻☺▪
Sudah beberapa minggu lamanya berjalan setelah pemberitahuan Pak Didit tentang keikutsertaan Ashiel dan Franz sebagai wakil dari SMA-Q dalam Lomba Desain Grafis tingkat nasional. Namun, sampai saat ini, Ashiel dan Franz masih saja belum bisa menunjukkan tanda-tanda kalau mereka itu bisa akur dan kompak untuk menjadi wakil bagi tim sekolah mereka. Padahal waktu yang tersisa tinggal beberapa hari lagi.
“Nggak! Pokoknya kita nggak boleh nggambar pada bagian atasnya, dengan metode gambar yang seperti itu!” Ashiel tak mau menerima beberapa usulan dari Franz yang begitu jauh dari rencananya. Beberapa rencana juga sudah ditolak oleh Franz tadi, lantaran begitu jauh dari pemikiran Franz.
“Hasilnya pasti jelek, apabila digabungin sama hasil pemikiran gue. Amburadul banget sih pemikiran Loe.”
“Enak aja. Loe tuh yang sok tahu!” Franz nggak terima dibilang amburadul oleh Ashiel. “Lagian, siapa juga yang nerima hasil pemikiran Loe tadi. Pemikiran buntut!”
“Tapi kan itu lebih baik, dari pada pemikiran Loe yang amburadul!”
“Mending amburadul. Daripada sok tahu, ples buntut lagi.”
“Dasar amburadul!”
“Sok tahu.”
“Amburadul.”
“Sok tahu.”
“Amburadul.”
“Sok tahu.”
“STOOOOOPP!!” Ashiel dan Franz yang sedang bertengkar langsung terdiam kaget mendengar teriakan Pak Didit yang kali ini benar-benar marah pada mereka.
“Kalian ini!” Pak Didit ngos-ngosan menahan amarahnya. “Kenapa sih, tidak bisa sedikit pun untuk akur. Selalu saja bertengkar! Bertengkar! Tak ada habis-habisnya.”
“Kalian tahu. Kalau bukan karena permintaan kedua orang tua kalian yang merupakan ketua komite dan pendonor dana terbesar di sekolah, sekolah tak pernah mau mengirim kalian yang sudah jelas-jelas tak bisa akur itu. Walau sekolah tahu kalian mampu dan sangat mahir dalam membuat desain grafis.”
“Kalian tahu kenapa?” Ashiel dan Franz menunduk. Takut tak mengerti. “Karena kalian tak mau untuk mencoba sedikit pun, membuka hati kalian untuk menghargai perbedaan yang ada. Perbedaan yang begitu indah apabila kita mau mensyukurinya. Dan menjadikanya sebagai kekuatan kita.”
“Bapak benar-benar kecewa pada kalian.” Pak Didit memejamkan matanya untuk beberapa saat. Mengambil kekuatan untuk memutuskan sesuatu yang juga sebenarnya sangat disayangkannya. “Sekarang bapak serahkan semuanya pada kalian. Terserah! Kalau kalian memang tak ingin mengikuti mimpi hati kalian yang sebenarnya. Terus sajalah bertengkar sampai kalian tua dan menyesal!”
Tanpa memandang ke arah wajah Ashiel Dan Franz yang saat ini begitu terlihat menyesal, Pak Didit berjalan meninggalkan ruang seni sekolah.
▪☺☻☺▪
Sejak kejadian di ruang seni itu, rasanya perasaan Ashiel dan juga Franz tidak karuan. Mereka terus saja teringat akan ucapan Pak Didit. Memang rasanya ada benarnya juga. Selama ini Ashiel dan Franz tidak mau berusaha untuk membuka hati mereka. Menghargai perbedaan-perbedaan yang ada dan menjadikanya menjadi sesuatu yang begitu menyenangkan.
Ashiel memegang jari-jemari tangannya dengan jari-jemari tangannya yang lain dengan kuat. Hari ini tekadnya sudah bulat setelah semalaman berpikir tak henti-hentinya untuk segera mengakhiri semua pertengkaran dengan Franz.
Ashiel menguatkan langkah kakinya untuk berjalan menemui Franz yang kini sedang berdiri di samping pintu gerbang sekolah.
“Franz,” Panggil Ashiel ragu-ragu. Franz tersentak kaget. Orang yang sejak tadi ditunggunya dengan cemas kini memanggilnya.“Ashiel,” ucap Franz tak kalah ragu-ragunya.
Dalam beberapa detik Ashiel dan Franz yang kini sedang berdiri berhadap-hadapan terdiam. Membisu bersama sepinya sekolah sejak dua jam yang lalu.
“Gue mau ngomong,” ucap Ashiel dan Franz berbarengan akhirnya.
Sekejap mereka terdiam bersama-sama. “Ya udah deh, Loe duluan aja!”Ashiel menawarkan.
“Nggak ah, Loe kan cewek. Loe duluan aja deh!”Gantian Franz yang mengalah dan menawarkan agar Ashiel yang ngomang terlebih dulu.
“Beneran nggak pa-pa?” tanya Ashiel untuk meyakinkan dirinya.
“He-eh. Dah, ngomong aja,” jawab Franz dengan penuh senyuman ketulusan.
Ashiel menggigit bibir bawah mulutnya, “Franz, Gue mau minta maaf atas pertengkaran-pertengkaran kita selama ini. Gue banyak salah sama Loe. Loe mau kan, maafin gue?” pinta Ashiel penuh harap.
“Nggak Shiel. Seharusnya yang minta maaf tuh gue. Bukanya Loe,” ucap Franz sungguh-sungguh.
Ashiel terdiam. “Jadi, kita damai nih?”
“So pasti dong,” jawab Franz bersemangat.
“Eh, gimana kalau kita ke ruang seni?”
“Buat apa?” tanya Franz aneh.
“Gue dah nggak sabar nih buat nyatuin segala perbedaan yang ada di dalam diri kita. Mumpung Gue bawa kunci duplikatnya.”
“OK! Siapa takut.” Saat itu bersamaan dengan hangatnya sinar matahari Ashiel dan Franz pergi ke ruang seni. Mereka begitu bersemangat ingin segera menyatukan segala perbedaan yang ada dalam diri mereka. Seperti warna pelangi, yang menyatu sebagai sinar matahari.
▪☺☻☺▪
Akhirnya Ashiel dan Franz jadi juga mengikuti lomba desain grafis bersama-sama. Mereka keluar sebagai juara pertama berkat perbedaan-perbedaan dalam diri mereka yang telah mereka satukan.
Putri Rizkiyah adalah siswa Kelas X SMA Pondok Pesantren Al-Multazam Mojoanyar Mojokerto
Email: putri_rizkiyah2007@yahoo.co.id