Kamis, 06 Desember 2007

Olah Urine Dapat 15 Juta


Laporan: Ika Nur Khasanah

SMK Negeri 1 Pungging-Mojokerto mengirimkan 6 siswa dan 1 guru pembimbing dalam Lomba Perbaikan Lingkungan Hidup tingkat nasional “Toyota Eco Youth (TEY) Programme 2007” yang diselenggarakan Toyota Manufacturing Indonesia bekerja sama dengan Toyota Astra Motor..

Lomba ini berlangsung selama 6 bulan (November 2006 – Maret 2007) dan terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap verifikasi proyek, peninjauan lapangan, dan grand final. Setelah mendapat training di hotel Yasmin, Bogor selama 2 hari,dengan mengangkat tema “Pengolahan Limbah Urine Secara Biofisis Untuk Mendukung Penghijauan di Sekolah”, tim SMKN 1 Pungging berhasil menjadi tim unggulan saat tahap verifikasi proyek setelah tim SMKN 1 Magelang, sehingga proyek yang digarapnya di-shoot sebuah stasiun televisi swasta, Metro TV.

Meski sempat mendapat kritikan juri karena data penelitian yang kurang lengkap, namun tim SMKN 1 Pungging tetap melaju ke tahap selanjutnya tanpa putus asa. Dengan data – data yang lengkap, mereka kembali ke Jakarta bersama 23 supportenya dengan hasil proyek yang akan dipertandingkan dengan 15 SMA/SMK se-Jawa Bali.

Bertempat di Cilandak Town Square, grand final TEY pun digelar. Sebelum final, seluruh tim sibuk mempersiapkan pameran proyek yang mereka kerjakan. Pukul 20.00 WIB, grand final pun berlangsung. Dipandu oleh 2 MC kondang, Indi Barends dan Indra Bekti, 15 tim mempresentasikan hasil proyek mereka. Dag, dig, dug, adalah bunyi degapan jantung seluruh peserta ketika menanti saat – saat diumumkannya 3 besar TEY. Sebelumnya, tampillah tim SMKN 1 Surabaya sebagai juara kategori pameran terbaik.

Setelah masuk 3 besar grand final TEY 2007, tim SMKN 1 Pungging menjawab dengan baik pertanyaan yang diajukan Indy dan Indra. Suasana semakin tegang ketika detik – detik pengumuman juara TEY semakin dekat. Permainan angklung yang mengalun memecahkan suasana tegang tersebut. Seluruh peserta TEY dan supporternya beserta tim juri dengan gembira memainkan irama lagu yang dipopulerkan WESTLIFE.

Tibalah saatnya pengumuman pemenang TEY 2007 yang menghadirkan Nadine Candrawinata untuk memberikan selendang kemenangan. Tim SMKN 1 Pungging yang berasal dari sebuah desa di Kab. Mojokerto berhasil menyabet piala juara ke-3 setelah tim SMAN 6 Yogyakarta yang mendapat hadiah 75 juta dari kemenangannya dalam TEY 2007. Di samping itu, tampil juga tim SMKN 5 Surabaya sebagai juara 2 dengan hadiah sebesar 50 juta rupiah.

Walaupun tidak berhasil menjadi jawara TEY 2007, namun tim SMKN 1 Pungging tidak berkecil hati. Mereka membawa pulang hadiah sebesar 15 juta dengan semangat yang terus berkobar sepanjang perjalanan pulang ke Mojokerto. Apalagi dengan wajah ceria mereka selepas menghabiskan waktu untuk berfantasi di Dufan, Jakarta. “Walaupun tidak menjadi juara, tetap semangat dan terus berkreasi untuk menjaga kelestarian hidup di sekolah. Dan semoga kita dapat berjumpa di Toyota Eco Youth 2008”, ucap Robert, salah satu tim juri TEY 2007.

(Ika-2MM1, SMKN 1 Pungging)

Remaja indonesia ditengah globalisasi

Imam Teguh
Siswa SMK Negeri 1 Pungging

Ditengah era globalisasi seperti ini,arus infotmasi mengalir tanpa mengenal batas menuntut kita sebagai generasi muda penerus bangsa untuk dapat selektif terhadap pengaruh kebudayaan luar yang dapat menghilangkan nilai-nilai luhur budaya kita .Bukannya su’udzon terhadap apa yang mereka ‘kirim’ kepada kita ,namun ada baik nya sebagai remaja muslim waspada terhadap pengaruh budaya mereka terhadap diri kita .

Hal ini bukan berarti menjadikan kita sebagai kelompok yang menolak setiap budaya luar.Hal tersebut amatlah tidak mungkin ,namun kita masih bisa memilih dan memilah lagi, Budaya yang sesuai dan baik dari mereka kita tiru,misal:Rajin membaca,Giat bekerja dan memiliki etos kerja tinggi .Lalu, bagaimana dengan budaya mereka seperti minum minuman keras ataupun kekerasan dalam menyelesaikan setiap masalah? sudah tentu harus kita buang jauh-jauh.

Namun arus informasi yng tak terbendung membuat pengawasan kita terhadap remaja hita saat ini menjadi kian sulit . bukan hal baru kalau disekitar kita atau bahkan kita sendiri adalah para munafik yang memasang wajah alim. Jika dirumah mereka adalah malaikat namun bila dia sudah lepas dari pengawasan kita ,mereka menjadi seperti preman pasar

‘Apa yang terjadi pada suatu negara di masa depan dientukan oleh pemudanya saat ini’.jika generasi kita saat ini seperti ini , apa yang akan terjadi pada bangsa kita 10-20 tahun lagi? Apa pertanggung jawaban kita terhadap para pejuang kemerdekaan yang telah memperjuangkan kemerdekaan negara kita dengan mengorbankan jiwa & raga? Apa yang bias kita perbuat saat ini?

Untuk dapat menangkal pengaruh buruk badai globalisasi tersebut , ada beberapa kiat yang patut kita coba

  1. kita buka kembali buku perjuangan para pahlawan kemerdakaan untuk meningkatkan kembali jiwa nasionalis kita.
  2. kita mesti lebih selektif dalam pergaulan (memilih teman, saluran hiburan dan lain sebagainya)
  3. menjalankan ibadah dengan teratur& meningkatkan iman
  4. menyibukkan diri dengan kegiatan positif.
Mungkin ini bukanlah cara yang mutlak benar karena semua dikembalikan kepada kita . Mampu atau tidak kita menahan efek buruk globalisasi

Pelangi Siang Hari


Oleh Putri Rizkiyah

Kau dan aku berjalan, terbang

Bersama angin dan ombak

Mungkin memang jauh

Bersimponi merah–putih

Tapi, alangkah indahnya cahaya matahari

Bersinar lurus bersama pelangi

“Hah!!!”

“Sama loe!”

“Ama loe!”

Ashiel dan Franz, dua makhluk bermusuh bebuyutan di sekolah, saling berhadap-hadapan tak percaya. Antara bahagia dan kaget setengah mati mereka mendengar perkataan Pak Didit barusan. Bayangkan saja, Ashiel dan Franz murid SMA-Q yang tak pernah akur dan selalu berbeda paham. Sekarang diminta oleh Pak Didit untuk bersama - sama mengikuti Lomba Desain Grafis tingkat nasional. Lebih parahnya lagi, mereka harus jadi satu tim!

Apa itu nggak gila namanya?

Memang sih, dari dulu Ashiel ingin sekali mengikuti Lomba Desain Grafis tingkat nasional. Melakukan sesuatu dari dunianya. Dunia di mana Ashiel dapat merasakan betapa manis suka-dukanya apabila dia dapat melakukan sesuatu yang dia senangi untuk kado kecil bagi tiap orang yang tercinta. Pasti itu bakal menjadi suatu hal yang sangat menyenangkan baginya.

Tapi sekarang apa yang harus dilakukan oleh Ashiel? Pasti semua mimpi indah itu akan hancur. Ashiel nggak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi nanti. Baru ketemu aja, mareka pasti bakal berantem. Apalagi kalau jadi satu tim. Semuanya bakal kacau! Padahal hanya di sinilah harapan Ashiel bisa tercapai.

Ashiel membalikkan mukanya cepat menghadap ke arah Pak Didit. “Pak, masak saya harus sama Franz, sih?” protes Ashiel tak terima. “Apa nggak bisa diganti yang lain?”

“Iya Pak, masa saya harus sama si cewek super sok ini sih, Pak?” Franz tak mau kalah dan langsung menyebut julukan yang biasa ia gunakan untuk Ashiel. Julukan yang selalu ia pakai sejak kejadian tujuh tahun yang lalu. Saat Ashiel dan Franz masih berumur sepuluh tahunan.

Saat itu Franz kecil yang baru saja pindah rumah diajak oleh kedua orang tuanya untuk bertamu ke rumah sebelah. Rumah sahabat lama kedua orang tuanya, yang tak lain adalah rumah kedua orang tua Ashiel.

Entah kenapa, sejak pertemuan awal mereka di rumah Ashiel itu, mereka selalu saja berbeda pendapat dan pikiran. Sehingga hanya pertengkaran-pertengkaranlah yang terjadi di antara mereka. Itu membuat kedua orang tua mereka yang begitu akrab menjadi merasa aneh dan tak habis mengerti.

Sampai akhirnya kedua orang tua mereka tak tahan lagi untuk melihat dan mendengar tiap pertengkaran yang tak ada habisnya itu. Orang tua mereka sepakat untuk berusaha dengan sekuat tenaga, menyatukan hubungan Ashiel dan Franz.

”Perbedaan itu sebetulnya indah dan menyenangkan. Asal kita mau berusaha untuk menghargai tiap perbedaan yang ada. Lihatlah pelangi! Terdiri dari berbagai warna, berpadu dengan indahnya. Meski berbeda, warna-warna itu menyatu sebagai spektrum cahaya matahari. Cahaya yang menyinari kehidupan!” nasehat ayah Franz. Panjang lebar.

Toh, semua itu gagal. Ashiel dan Franz selalu saja menutup hati dan telinga mereka. Demi rasa gengsi dan harga diri yang terlalu tinggi.

***

“Wah, kala saya mesti satu tim dengan cewek super sok ini, bisa kacau nanti ceritanya, Pak! ”

“Eh, apa Loe bilang tadi? Cewek super sok? Coba ulangin!”

“Ce-wek su-per sok ! Loe tuh cewek super sok!”

“Enak aja,” bantah Ashiel. “Loe tuh cowok super amburadul! Ngatain orang sembarangan.”

“Tapi kenyataanya emang gitu kan?” ejek Franz. “Loe emang super SOK!”

“Loe tuh super amburadul!.”

“Loe super sok.”

“Loe super amburadul .”

“Loe super sok .”

“Loe super amburadul .”

“Sudah, sudah !” lerai Pak Didit akhirnya. “Kalian ini, masih saja bertengkar dan bertengkar. Padahal di dalam lomba yang akan kalian ikuti nanti, di sana sangat dibutuhkan yang namanya kekompakan, kalian mengerti, kan? Tapi kok masih saja bertengkar terus.”

“Tapi, Pak,” sahut Ashiel Dan Franz berbarengan.

“Sudah, tak ada tapi-tapian . Ini sudah keputusan sekolah yang tak bisa di ganggu gugat. Fi-nal!”

“Final… .”

“Final… .”

▪☺☻☺▪

Sudah beberapa minggu lamanya berjalan setelah pemberitahuan Pak Didit tentang keikutsertaan Ashiel dan Franz sebagai wakil dari SMA-Q dalam Lomba Desain Grafis tingkat nasional. Namun, sampai saat ini, Ashiel dan Franz masih saja belum bisa menunjukkan tanda-tanda kalau mereka itu bisa akur dan kompak untuk menjadi wakil bagi tim sekolah mereka. Padahal waktu yang tersisa tinggal beberapa hari lagi.

“Nggak! Pokoknya kita nggak boleh nggambar pada bagian atasnya, dengan metode gambar yang seperti itu!” Ashiel tak mau menerima beberapa usulan dari Franz yang begitu jauh dari rencananya. Beberapa rencana juga sudah ditolak oleh Franz tadi, lantaran begitu jauh dari pemikiran Franz.

“Hasilnya pasti jelek, apabila digabungin sama hasil pemikiran gue. Amburadul banget sih pemikiran Loe.”

“Enak aja. Loe tuh yang sok tahu!” Franz nggak terima dibilang amburadul oleh Ashiel. “Lagian, siapa juga yang nerima hasil pemikiran Loe tadi. Pemikiran buntut!”

“Tapi kan itu lebih baik, dari pada pemikiran Loe yang amburadul!”

“Mending amburadul. Daripada sok tahu, ples buntut lagi.”

“Dasar amburadul!”

“Sok tahu.”

“Amburadul.”

“Sok tahu.”

“Amburadul.”

“Sok tahu.”

“STOOOOOPP!!” Ashiel dan Franz yang sedang bertengkar langsung terdiam kaget mendengar teriakan Pak Didit yang kali ini benar-benar marah pada mereka.

“Kalian ini!” Pak Didit ngos-ngosan menahan amarahnya. “Kenapa sih, tidak bisa sedikit pun untuk akur. Selalu saja bertengkar! Bertengkar! Tak ada habis-habisnya.”

“Kalian tahu. Kalau bukan karena permintaan kedua orang tua kalian yang merupakan ketua komite dan pendonor dana terbesar di sekolah, sekolah tak pernah mau mengirim kalian yang sudah jelas-jelas tak bisa akur itu. Walau sekolah tahu kalian mampu dan sangat mahir dalam membuat desain grafis.”

“Kalian tahu kenapa?” Ashiel dan Franz menunduk. Takut tak mengerti. “Karena kalian tak mau untuk mencoba sedikit pun, membuka hati kalian untuk menghargai perbedaan yang ada. Perbedaan yang begitu indah apabila kita mau mensyukurinya. Dan menjadikanya sebagai kekuatan kita.”

“Bapak benar-benar kecewa pada kalian.” Pak Didit memejamkan matanya untuk beberapa saat. Mengambil kekuatan untuk memutuskan sesuatu yang juga sebenarnya sangat disayangkannya. “Sekarang bapak serahkan semuanya pada kalian. Terserah! Kalau kalian memang tak ingin mengikuti mimpi hati kalian yang sebenarnya. Terus sajalah bertengkar sampai kalian tua dan menyesal!”

Tanpa memandang ke arah wajah Ashiel Dan Franz yang saat ini begitu terlihat menyesal, Pak Didit berjalan meninggalkan ruang seni sekolah.

▪☺☻☺▪

Sejak kejadian di ruang seni itu, rasanya perasaan Ashiel dan juga Franz tidak karuan. Mereka terus saja teringat akan ucapan Pak Didit. Memang rasanya ada benarnya juga. Selama ini Ashiel dan Franz tidak mau berusaha untuk membuka hati mereka. Menghargai perbedaan-perbedaan yang ada dan menjadikanya menjadi sesuatu yang begitu menyenangkan.

Ashiel memegang jari-jemari tangannya dengan jari-jemari tangannya yang lain dengan kuat. Hari ini tekadnya sudah bulat setelah semalaman berpikir tak henti-hentinya untuk segera mengakhiri semua pertengkaran dengan Franz.

Ashiel menguatkan langkah kakinya untuk berjalan menemui Franz yang kini sedang berdiri di samping pintu gerbang sekolah.

“Franz,” Panggil Ashiel ragu-ragu. Franz tersentak kaget. Orang yang sejak tadi ditunggunya dengan cemas kini memanggilnya.“Ashiel,” ucap Franz tak kalah ragu-ragunya.

Dalam beberapa detik Ashiel dan Franz yang kini sedang berdiri berhadap-hadapan terdiam. Membisu bersama sepinya sekolah sejak dua jam yang lalu.

“Gue mau ngomong,” ucap Ashiel dan Franz berbarengan akhirnya.

Sekejap mereka terdiam bersama-sama. “Ya udah deh, Loe duluan aja!”Ashiel menawarkan.

“Nggak ah, Loe kan cewek. Loe duluan aja deh!”Gantian Franz yang mengalah dan menawarkan agar Ashiel yang ngomang terlebih dulu.

“Beneran nggak pa-pa?” tanya Ashiel untuk meyakinkan dirinya.

“He-eh. Dah, ngomong aja,” jawab Franz dengan penuh senyuman ketulusan.

Ashiel menggigit bibir bawah mulutnya, “Franz, Gue mau minta maaf atas pertengkaran-pertengkaran kita selama ini. Gue banyak salah sama Loe. Loe mau kan, maafin gue?” pinta Ashiel penuh harap.

“Nggak Shiel. Seharusnya yang minta maaf tuh gue. Bukanya Loe,” ucap Franz sungguh-sungguh.

Ashiel terdiam. “Jadi, kita damai nih?”

“So pasti dong,” jawab Franz bersemangat.

“Eh, gimana kalau kita ke ruang seni?”

“Buat apa?” tanya Franz aneh.

“Gue dah nggak sabar nih buat nyatuin segala perbedaan yang ada di dalam diri kita. Mumpung Gue bawa kunci duplikatnya.”

“OK! Siapa takut.” Saat itu bersamaan dengan hangatnya sinar matahari Ashiel dan Franz pergi ke ruang seni. Mereka begitu bersemangat ingin segera menyatukan segala perbedaan yang ada dalam diri mereka. Seperti warna pelangi, yang menyatu sebagai sinar matahari.

▪☺☻☺▪

Akhirnya Ashiel dan Franz jadi juga mengikuti lomba desain grafis bersama-sama. Mereka keluar sebagai juara pertama berkat perbedaan-perbedaan dalam diri mereka yang telah mereka satukan.

Putri Rizkiyah adalah siswa Kelas X SMA Pondok Pesantren Al-Multazam Mojoanyar Mojokerto

Email: putri_rizkiyah2007@yahoo.co.id

Andai Sekolah seperti AFI


MULYOTO

Andai sekolah seperti AFI, betapa bahagianya siswa. Mereka riang tatkala pagi datang karena membayangkan bakal berjumpa dengan sahabat-sahabat sejatinya. Bertemu dengan para guru yang selalu membawanya pada pengalaman-pengalaman baru. Ah, alangkah senangnya andaikata sekolah seperti AFI. Tidak ada kekerasan, tidak ada kemarahan. Yang ada adalah kebersamaan, komunikasi konstruktif untuk saling berbagi. Kelak, tatkala waktunya datang, satu persatu di antara akademia (sebutan untuk siswa) mesti tereliminasi. Akan tetapi tak ada kemarahan, tak ada penyesalan. Yang ada adalah tetesan air mata. Air mata keharuan. Suatu saat nanti air mata itu akan kembali menetes tatkala mereka diwisuda. Sambil mengucapkan terima kasih yang dalam kepada para gurunya, mereka bertekad: bahwa belajar tak akan pernah terhenti.

Ya. Saya memang sedang berandai-andai. Namun pengandaian saya bukanlah sebagai orang yang sedang memimpikan sesuatu di awang-awang. Pengandaian saya tentang sekolah sebagai AFI (Akademi Fantasi Indosiar) benar-benar didasari oleh kerinduan yang kelewat besar terhadap suasana pembelajaran yang menyenangkan, manusiawi, dan membebaskan. Dan semua itu ada dalam kenyataan, yaitu di AFI. Tiap kali menonton AFI, baik saat konser, maupun saat acara diari, seolah kerinduan itu telah terbayar. Begitulah, bagi saya, AFI tidak sekadar tontonan komersial semata, melainkan juga sebuah model tentang pembelajaran yang ideal.

Ada beberapa inspirasi pedagogis yang bisa kita petik dari fenomena AFI. Pertama, sekolah – sebagaimana AFI – harus memiliki visi dan misi yang jelas. Bagi sekolah, visi dan misi merupakan haluan, acuan atau paradigma bagi segenap insan akademis di sekolah itu. Semua berbuat, bergerak dan berkarya dalam konteks visi dan misi itu. Kejelasan visi dan misi akan menjadi energi bagi siswa dalam belajar meraih kompetensi, juga menjadi kekuatan bagi guru dalam mengabdi.

Coba lihat AFI. Hanya dalam waktu tiga bulan, para akademia (siswa) telah mampu mengembangkan segenap potensinya untuk menjadi seorang entertainmen yang dipuja-puji. Melalui penggodhogan selama tiga bulan di kelas vokal, kelas koreografi, kelas akting, dan kelas konser, para akademia akhirnya bisa tampil beda dari sebelumnya. Konser menuju bintang sebagai wadah para lulusan AFI berekspresi terbukti ditonton oleh ribuan orang. Kasetnya pun ludes dibeli penggemar dalam waktu singkat mencapai puluhan ribu keping. Semua ini merupakan keberhasilan AFI mencapai visi dan misinya yang jelas. Yaitu menciptakan seorang entertainmen sejati melalui pengasahan dan pengembangan segenap potensi yang dimiliki anak didik.

Andai sekolah juga memiliki visi dan misi yang jelas, tentu sekolah tidak akan terombang-ambing. Yang sering terjadi selama ini, sekolah memang mencantumkan visi dan misi di papan-papan strategis, tapi tidak banyak orang di dalamnya yang mengerti apalagi terikat dalam visi dan misi itu. Siswa dan guru bergerak dalam kerutinan seperti yang dulu-dulu. Tidak perlu berpikir mau ke mana program sekolah mau diarahkan. Tidak ada evaluasi menyeluruh terhadap ketercapaian visi dan misi itu, dan tidak ada pembaruan di dalamnya. Setelah lulus, tidak ada kejelasan ke arah mana siswa akan bergerak. Apa yang telah dicapainya juga tidak ada kompetensi yang jelas. Semua masih serba samar karena sekolah tidak didasari oleh visi dan misi yang jelas dan operasional.

Kedua, pembelajaran berbasis kompetensi. AFI, menurut hemat saya, adalah contoh kongkrit bagaimana bentuk pembelajaran yang berbasis kompetensi itu. Berbekal pada potensinya masing-masing, para akademia diasah oleh para ahli di bidangnya. Mereka harus menguasai kompetensi koreografi, kompetensi vokal, kompetensi akting, dan sebagainya yang secara keseluruhan mampu membentuk kompetensi utuh: seorang entertainmen sejati, yang digemari tapi tetap baik hati dan tidak sombong. Di kelas AFI, para akademia belajar secara lengkap. Teori dan praktik. Ranahnya juga meliputi kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (ketrampilan). Dan semua itu pada akhirnya mengerucut menjadi satu: terbentuknya kompetensi sebagai seorang entertainmen.

Sekolah mulai tahun pembelajaran 2004/2005 ini juga akan menerapkan kurikulum berbasis kompetensi. Dengan inspirasi dari AFI, nampaknya segenap guru dan siswa nantinya harus sadar, bahwa di sekolah para siswa belajar untuk memperoleh suatu kompetensi. Yaitu suatu kemampuan yang lengkap meliputi kognisi, afeksi dan psikomotor yang nyata dan berguna bagi kehidupannya. Siswa tidak hanya belajar dalam dataran teori di awang-awang, melainkan belajar dalam konteks kehidupan nyata yang ada di sekitarnya. Belajar tidak hanya dalam bentuk memperhatikan ceramah guru di depan kelas, tetapi justru yang terpenting adalah adanya interaksi demokratis antara guru dan siswa. Belajar dengan mengalami (learning by doing) menjadi salah satu pilar pembelajaran berbasis kompetensi ini.

Ketiga, belajar bukan berwujud penjejalan pengetahuan, melainkan pemaknaan pengetahuan. Bukan berupa transformasi, melainkan internalisasi. Siswa tidak diandaikan sebagai sebuah botol kosong yang akan diisi dengan berbagai ilmu oleh guru. Siswa juga bukan anak pendekar silat yang menerima transfer ilmu (tenaga dalam) dari gurunya. Siswa adalah pribadi yang unik, yang di dalamnya masing-masing menyimpan potensi. Potensi yang masih ada dalam diri siswa dan belum mewujud ini yang akan digali, diasah dan dikembangkan. Caranya, bebaskan mereka berekspresi. Biarkan mereka bergulat dalam pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai tertentu untuk menciptakan struktur kemampuan yang mewujud dalam bentuk kompetensi. Melalui diskusi, praktik langsung, tanya jawab, dan belajar mandiri siswa akan bebas menginternalisasikan materi belajar ke dalam dirinya. Hasilnya, terciptalah sebuah pribadi yang tetap unik, tapi masing-masing telah mempunyai kemampuan nyata yang bisa dimanfaatkannya untuk menopang kehidupannya.

Semuanya itu telah tergambar dalam proses pembelajaran di AFI. Seorang akademia, memperoleh kompetensi bukan dengan berdiam diri. Mereka mesti aktif berproses, aktif bergulat dengan informasi yang diberikan guru-gurunya sembari mempraktikkan secara langsung. Pembelajaran terasa hidup, dinamis, dan menyenangkan. Mereka juga bebas berekspresi, menyampaikan uneg-uneg tanpa beban rasa takut.

Guru berperan betul sebagai seorang motivator dan fasilitator. Hubungan antara siswa dan guru bukan lagi seperti hubungan antara rakyat dan diktator, melainkan hubungan sesama insan pembelajar yang berinteraksi secara manusiawi. Guru tidak memposisikan sebagai orang yang serba tahu dan selalu memonopoli kebenaran. Guru memberikan pembelajaran, tetapi tetap membuka adanya reaksi, respon dan uneg-uneg dari siswa. Ketika terjadi eliminasi, tidak hanya siswa yang meneteskan air mata, para guru pun tidak bisa menyembunyikan rasa kehilangannya karena mereka sudah seperti satu keluarga.

Keempat, pembelajaran kompetitif berbasis kebersamaan. Di AFI, ada nuansa persaingan (kompetisi). Setiap minggunya, satu persatu di antara mereka mesti tereliminasi. Sampai akhirnya tersisa tiga finalis untuk memperebutkan juara utama. Akan tetapi, kompetisi yang begitu keras ternyata tidak harus melenyapkan kebersamaan dan persahabatan di antara mereka. Maka, tidak heran kalau pada tiap terjadi eliminasi, di antara mereka terjadi hujan air mata karena salah seorang di antara mereka harus pulang.

Selama ini, sekolah kita juga memberlakukan kompetisi sebagai cara untuk memotivasi belajar siswa. Antarsiswa dalam satu kelas dibandingkan dengan metode rangking prestasi belajar. Di tingkat antarsekolah, siswa juga dipertarungkan. Perolehan nilai ebtanas (sekarang UAN) dijadikan parameter untuk menilai tingginya kualitas dan kebanggaan diri sekolah.

Akan tetapi yang terjadi, mengapa kompetisi itu terkesan bersifat individual? Dalam sekup kelas, siswa bersaing secara individual. Tidak ada belajar hidup bersama karena antarmereka adalah pesaing satu sama lain. Kalau perlu, dalam belajar mereka saling menjatuhkan satu sama lain. Itu yang selama ini terjadi. Maka jangan salahkan siswa kalau kelak mereka tidak bisa bekerja sama. Mereka telah terbiasa hidup berkompetisi tanpa didasari kebersamaan. Ini merupakan PR bagi kita semua.

Kelima, penilaian berbasis kompetensi. Sebagaimana kegiatan pembelajaran layaknya, di AFI juga menerapkan evaluasi atau ujian. Setiap minggu, para akademia diuji pencapaian kompetensinya. Evaluasi dilakukan oleh para komentator dan penonton. Komentator menilai secara langsung sehabis penampilan, sedangkan penonton menilai via poling SMS. Siapa yang mendapatkan dukungan terbanyak dari SMS, maka dia akan terus melenggang menuju puncak. Yang terpenting untuk kita pelajari dari AFI, penilaian terhadap prestasi belajar siswa dilakukan secara menyeluruh berdasarkan unjuk kerja (kompetensinya). Bukan hanya aspek kognisi dalam bentuk soal-soal teori, melainkan seluruh aspek yang terejawantah dalam bentuk kemampuan praktik (menyanyi).

Bandingkan dengan sekolah kita selama ini. Pembelajaran dituntut menggunakan pendekatan proses, akan tetapi yang diukur hanya aspek hasil dengan soal pilihan ganda. Nilai ebtanas atau UAN didewakan sebagai bukti prestasi, padahal ia hanya mengukur sebagian kecil aspek pembelajaran. Bukannya mengukur kompetensi secara menyeluruh. Inilah yang sering menimbulkan kerancuan selama ini.

Sistem evaluasi yang bersifat parsial itu selama ini telah menjadi sumber malpraktik di sekolah. Pembelajaran tidak lagi berfungsi sebagai proses bergulat dengan ilmu, melainkan sekadar penjejalan materi ebtanas atau UAN dengan sistem drill. Buat apa berpikir capek-capek kalau prestasi bisa dicapai dengan sedikit trik yang bisa diperoleh di bimbingan tes. Efeknya, siswa terbiasa berpola hidup serba instan, serba gampang, dan serba mencari jalan pintas.

Kalau pun ebtanas atau UAN masih tetap diberlakukan, hemat saya, haruslah dipandang sebagai salah satu aspek kecil dari prestasi siswa. Prestasi siswa yang sesungguhnya adalah kompetensi menyeluruh yang tercermin dalam bentuk unjuk kerja dan perilaku. Dan yang menilai itu bukan lagi sekolah atau pemerintah, melainkan masyarakat pengguna mereka. Kalau siswa SMK, yang menilai adalah industri yang akan mempekerjakan mereka. Meski nilai UAN jeblok dan hanya memenuhi syarat untuk lulus, selama unjuk kerjanya bagus, produktif dan kreatif, maka dunia usaha dan industri akan menerimanya dengan tangan terbuka.

Itulah beberapa inspirasi pedagogis yang bisa ditarik dari fenomena AFI. Saya tidak ingin menyamakan sekolah dengan AFI. Saya hanya mengajak kita semua untuk mengoreksi kegiatan pembelajaran kita, sudahkah sesuai dengan prinsip-prinsip pedagogis yang benar. Yaitu pembelajaran yang bersifat manusiawi, menyenangkan, membebaskan dan mengembangkan potensi yang masih terpendam. Bukan pembelajaran yang membunuh dan memenjarakan.

MULYOTO, guru matematika SMK Negeri 1 Pungging Mojokerto

Mimpi Seorang Guru

Saya seorang guru. Beberapa waktu lalu, saya bermimpi. Aneh. Saya bermimpi, saya sedang mengajar di sebuah sekolah yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Murid-murid yang saya hadapi nampak gembira di hadapan saya. Dalam mimpi itu, murid-murid begitu antusias saat saya datang. Lalu, dengan perasaan bangga saya memulai pelajaran. Saya hidupkan laptop dan LCD, dan dalam sekejab saya presentasikan materi pembelajaran. Saat saya presentasi, anak-anak didik saya aktif merespon. Kadang, saat saya sedang bicara, ada anak yang tergelitik dan mengajukan pertanyaan. "Silakan!" kata saya menunjuk anak yang mengacungkan tangan.
Begitulah, proses pembelajaran yang ada dalam mimpi saya itu benar-benar menyenangkan. Tidak saja bagi saya selaku seorang guru. Terlihat juga wajah anak-anak yang begitu sumringah penuh gairah. Mereka aktif dalam proses pembelajaran tanpa ada perasaan takut atau terkekang.
Saat jam pelajaran usai, masih dalam mimpi saya, saya keluar dari ruang kelas. Di sepanjang teras kelas, bunga-bunga segar menyapa. Halaman kelas juga nampak asri dengan taman bunga. Beberapa burung gereja berkejaran di antara pohon-pohonan dengan cicitannya yang khas selaras gemericik suara air mancur di kolam ikan kecil.
Bagiku, sekali lagi hanya dalam mimpi, sekolah benar-benar menjadi lingkungan yang nyaman dan asri. Tidak hanya guru yang merasa betah. Siswa pun terlihat selalu riang. Saat tidak ada jam mengajar, saya masuk ruang guru. Di sana beberapa guru sudah ada di mejanya masing-masing. Semua sibuk dengan laptop masing-masing. Kalau agak penat, kadang kami ngerumpi. Bukan tentang mahalnya harga-harga barang kebutuhan pokok akibat kenaikan BBM. Bukan tentang, rengekan anak yang minta dibelikan baju lebaran, juga bukan tentang tetek bengek masalah rumah tangga. Kami ngerumpi, atau tepatnya berdiskusi, tentang siswa. Tentang pembelajaran. Tentang hasil penelitian tindakan kelas yang selalu dilakukan tiap guru. Kami sesaam guru selalu terbuka terhadap masukan teman sejawat. Dan semua itu kami lakukan bukan untuk siapa-siapa, kecuali siswa.
Bagi kami, fokus selalu tertuju pada kemajuan belajar siswa. Kepuasan kami sebagai seorang guru tergantung hanya pada keberhasilan siswa kami yang terlihat dari pencapaian kompetensi mereka. Tidak hanya kompetensi pengetahuan atau sekadar ketrampilan, tapi juga kompetensi sikap hidup. Internalisasi pengalaman belajar mencakup seluruh ranah secara komprehensif. Ya, kognisi (pengetahuan), psikomotori (ketrampilan), juga yang tak kalah pentingnya ranah afeksi (sikap). Singkatnya, segenap potensi siswa sangat kami hargai dan oleh karena itu kami kembangkan secara seimbang. Bagi kami, mereka adalah bibit-bibit padi yang kami tanam di tanah yang kami usahakan sesubur mungkin, dan kami berbuat sebagai seorang petani: menciptakan situasi yang kondusif bagi bibit padi untuk tumbuh dan berkembang hingga akhirnya berbuah secara maksimal.
Kami bisa selalu fokus terhadap kemajuan siswa, bahkan kemajuan siswa secara individual. Kalau ada siswa yang bermasalah, kami selalu tahu, dan berusaha membantu mencari solusi hingga siswa terlepas dari beban masalah. Masalah apapun: kesulitan belajar, masalah pribadi, masalah hubungan dengan orang tua, dan lain-lain.
Tapi, ya itu. Semua hanya ada dalam mimpi. Ketika aku terbangun, aku kembali menyadari akan keberadaanku yang sangat jauh dari mimpi itu. Aku sebenarnya sangat malu menceritakan mimpi itu, karena mungkin ini hanya sebuah mimpi konyol. Aku tidak yakin bahwa suatu saat mimpi ini bisa menjadi sebuah kenyataan.
Tanggal 25 Nopember ini, kembali kita akan memperingati hari guru. Konon, ada kado istimewa dari Mendiknas - tepatnya pemerintah. Kabarnya, hari itu, RUU Guru akan disahkan, dan itu berarti akan ada perubahan signifkan pada eksistensi guru. Guru akan digaji sekitar 300% dari gaji PNS non guru untuk golongan yang sama. Karena konstitusi (UUD 45) hasil amandemen MPR telah memasukkan ketentuan 20% APBN harus untuk pendidikan, maka bukan tidak mungkin memang akan ada perubahan besar pada kehidupan guru.
Tapi apakah betul begitu? Sekali lagi, saya tidak berani berharap. Kami takut berharap terlalu besar atas kebaikan hati pemerintah hanya akan menciptakan luka. Kami hanya bisa berbuat sebaik-baiknya dalam batas-batas keammpuan kami. Kami sudah hapal betul akan jurus berkelit pemerintah. Bahkan saat konstitusi yang secara eksplisit menyebut angka 20% untuk anggaran pendidikan saja masih bisa diakali dengan istilah dilaksanakan secara bertahap. Kami, terus terang, tidak berani berharap.
Berkali-kali kami hanya bisa mengetuk hati nurani. Pendidikan itu sebuah investasi jangka panjang. Memang tidak bisa hasilnya dirasakan dalam waktu singkat. Baru beberapa tahun ke depan hasil itu bisa terlihat dalam bentuk sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Dan untuk investasi itu memang dibutuhkan modal yang besar. Selama hal ini tidak pernah bisa dipahami, mustahil SDM kita berubah. Dan, saya, seperti guru-guru yang lain, selalu akan terus bermimpi.

Satu Lagi Inkonsistensi dalam Dunia Pendidikan Kita

Sebuah inkonsistensi dalam kebijakan pendidikan kita terjadi lagi. Beberapa buku pelajaran sejarah untuk SLTP dan SLTA dilarang beredar karena tidak mencantumkan fakta sejarah tentang G30S/PKI atau mencantumkan tapi hanya dengan menyebut G30S tanpa embel-embel PKI. Ada 13 judul buku dari 10 penerbit yang dilarang beredar berdasarkan Surat Keputusan Kejaksaan Agung tertanggal 5 Maret 2007. Konon, pelarangan tersebut dilakukan atas “permintaan” Menteri Pendidikan Nasional (Media Indonesia, 26/3).

Hemat saya, pelarangan tersebut tidak konsisten dengan kebijakan pendidikan menyangkut Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan kebijakan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang kini diperkuat lagi dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Tidak konsisten karena berdasarkan kebijakan-kebijakan itu, sekolah dan guru memiliki otonomi, termasuk di dalamnya menyusun kurikulum, memilih metode pembelajaran, dan memilih sumber belajar, tetapi tiba-tiba ada sebuah kebijakan yang melarang penggunaan buku tertentu sebagai sumber belajar.

Tidak bisa dimungkiri, kini kita telah memasuki era keterbukaan. Dalam pembelajaran, sumber belajar kini telah begitu beragam. Di samping buku pelajaran sebagai sumber belajar, kini juga ada sumber belajar berupa majalah, koran, buku-buku umum, dan internet yang kemudahan aksesnya makin hari makin meningkat.

Guru harus mengubah paradigma yang selama ini dirinya sebagai pusat sumber belajar menjadi fasilitator dan motivator yang mengkondisikan siswa untuk belajar. Proses pembelajaran berlangsung demokratis. Guru bukan pemegang otoritas kebenaran. Justru proses dialog antara guru dan siswa yang harus dikembangkan sehingga dalam kegiatan pembelajaran diperoleh sebuah reaksi yang menghasilkan nilai-nilai dan kebenaran-kebenaran yang baru dan kontekstual.

Dalam konteks ini, kebijakan otonomi pendidikan yang semangatnya juga kita temui dalam UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003, dapat dikatakan sebagai kebijakan yang tepat, relevan dan rasional. Tetapi, mengapa kebijakan yang sudah benar tersebut dalam dataran implementasi harus dijegal dan dinodai dengan kebijakan-kebijakan lain.

Selama ini kita sudah sangat risih dengan kebijakan ujian nasional (UN) yang merebut kewenangan guru dalam melakukan evaluasi pembelajaran sebagai satu kesatuan integral kompetensi guru sebagai perencana, pelaksana dan penilai kegiatan pembelajaran. Guru yang dalam UU Sisdiknas No 20 Thun 2003 nyata-nyata disebut memiliki kewenangan dalam mengevaluasi hasil belajar, dengan terpaksa harus rela hati menerima kebijakan ujian nasional. Inkonsistensi ini harus ditebus dengan harga mahal ketika guru tidak lagi peduli dengan tugasnya untuk mendidik siswa untuk cerdas dan berakhlak mulia, melainkan sekadar melakukan drill agar siswa bisa lolos dari jerat ujian nasional.

Lalu kini, ketika guru tidak boleh menggunakan buku pelajaran tertentu, dan mungkin juga (kalau bisa) dilarang menggunakan bahan-bahan dari internet, buku-buku umum yang dijual bebas, dan sebagainya, apa lagi yang akan terjadi dalam dunia pendidikan kita?

Luka Sejarah

Kalau kita cermati, fakta tentang G30S/PKI memang merupakan sebuah luka sejarah yang sangat mendalam. Peristiwa itu telah mengoyak rasa persaudaraan dan kemanusiaan kita sesama anak bangsa. Tentu bisa dipahami kalau kemudian muncul sebuah keinginan agar peristiwa itu bisa dijadikan bahan pelajaran bagi generasi penerus bangsa Indonesia agar tidak terjadi lagi. Proses pembelajaran yang diyakini paling efektif adalah pembelajaran yang dilakukan di sekolah.

Akan tetapi, sekali lagi, itu tidak perlu dilakukan dengan melarang buku-buku tertentu, atau bahkan dengan memaksakan penggunaan buku-buku yang lain lagi – kalau ada. Biarlah pembelajaran berjalan alami, demokratis, dan dinamis. Dalam pendidikan sejarah, misi terpenting yang diemban oleh guru sejarah adalah membelajarkan siswa untuk memaknai fakta sejarah sehingga siswa dapat memetik hikmahnya bagi kehidupan mereka kini dan masa mendatang. Baik hikmah bagi kehidupan secara pribadi maupun bagi kehidupnan dalam bermasyarakat dan berbangsa-bernegara. Yang terpenting dari pembelajaran sejarah yang demikian bukan lagi tentang apa dan siapa, tetapi bagaimana dan mengapa. Bagaimana peristiwa itu terjadi dan mengapa bisa terjadi? Juga, bagaimana agar peristiwa itu tidak terulang lagi.

Selain itu, berikanlah kepercayaan kepada guru untuk menjalankan kewajibannya dalam mendidik anak bangsa. Sumber belajar memang beragam, dan fakta yang sama mungkin akan ditulis oleh sejarah secara beragam pula. Tergantung siapa yang menulisnya. Akan tetapi, dengan proses pembelajaran yang bersifat dialogis, demokratis dan memberi ruang untuk berpikir kritis kepada siswa, dengan dibimbing oleh guru yang professional, niscaya siswa tidak akan “tersesat” pada pemahaman yang salah.

Malahan, siswa akan makin memiliki ketrampilan berpikir kritis untuk menilai mana yang benar dan mana yang salah, atau bahkan untuk tidak memilih mana yang benar dan mana yang salah, karena kebenaran toh tidak mesti hitam-putih. Bisa juga abu-abu. Yang terpenting, ya itu tadi, siswa dapat mengambil hikmahnya bagi kehidupan yang makin baik.

Singkat kata, pelarangan terhadap buku pelajaran hanya karena tidak memuat fakta tentang G30S/PKI atau memuat tetapi tidak menyebut G30S dengan embel-embel PKI hanyalah kebijakan yang tidak memiliki dasar dikdatis-pedagogis yang jelas. Pelarangan itu dilakukan hanya berdasarkan sebuah kekhawatiran yang secara gamang melintas. Dan harus disadari, di era globalisasi informasi seperti sekarang ini, melakukan pelarangan terhadap sebuah informasi untuk masuk atau disebarluaskan merupakan sebuah tindakan sia-sia. Toh, akses untuk mendapatkan informasi kini telah demikian luas dan bebas.

Pelarangan seperti itu justru akan menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan kita. Guru kembali tidak memiliki otoritas untuk mendidik siswa-siswanya, dan siswa akan merasa diberangus kebebasannya untuk belajar dari sumber belajar yang beragam.


Kalau pemerintah tetap khawatir juga akan terjadi penyesatan terhadap generasi muda tentang fakta G30S/PKI, hemat saya, yang paling realistis untuk dilakukan oleh pemerintah adalah membuat buku pelajaran sejarah yang benar dan teruji secara ilmiah dalam konteks ilmu sejarah, lalu membagikan kepada setiap siswa secara gratis dalam bentuk buku paket. Kalau ada buku-buku sejarah lain yang dinilai tidak benar, toh siswa telah memiliki buku sejarah dari pemerintah yang dianggap benar. Mudah, kan?

Kiat Praktis Bikin Majalah Sekolah

Judul Buku : Hari Gini Gak Punya Majalah Sekolah? Bikin, Yuk
Penulis : Mulyoto, S.Pd, M.Si
Penerbit : Andi Publisher, Yogyakarta
Tebal : 113 halaman
Cetakan I : Juni 2007

Kamu punya hobi nulis puisi, cerpen, berita sekolah, atau feature? Itu semua adalah potensi yang sangat sayang kalau tidak dikembangkan. Atau di antara kamu suka bikin komik, kartun atau cerita lucu? Tuangkan saja bakat kamu di majalah sekolah. Penerbitan sekolah memang salah satunya berfungsi untuk mengembangkan bibit-bibit calon penulis.

Ternyata, bukan itu saja peran penting majalah sekolah. Majalah sekolah juga bisa digunakan sebagai media penyalur aspirasi. Ketika ada uneg-uneg soal fasilitas sekolah yang perlu diperbaiki misalnya, ungkapkan, jangan hanya disimpan di hati! Sampaikan dalam bentuk artikel, puisi, cerpen atau kartun di majalah sekolah. Itu lebih baik daripada diungkapkan dalam aksi corat-coret di bangku, dinding kelas maupun pada dinding water closed. Lebih-lebih disampaikan melalui aksi anarkhi. Jangan sampai, dech!

Nah, buku ini memandu secara lengkap dan gamblang bagaimana bikin penerbitan sekolah, entah itu dalam format majalah, buletin, tabloid, maupun sekadar mading. Ditulis dengan bahasa lugas disertai contoh-contoh kongkrit, buku ini sangat gampang diikuti.

Ada yang istimewa dari buku ini. Ternyata, usut punya usut, penulis buku ini, yakni Mulyoto, adalah seorang guru matematika di SMK Negeri 1 Pungging. Meski mengajar matematika, Pak Mulyoto ini ternyata memang sudah lama lho, aktif dalam dunia jurnalistik. Dulu, saat SMA, artikelnya sudah nongol di sebuah majalah ilmiah terbitan Jakarta. Saat mahasiswa, selain menulis artikel untuk surat kabar umum, dia juga pernah menjadi pemimpin redaksi majalah “Pijar” IKIP Malang. Saat menjadi guru, tulisan-tulisanya dimuat di Kompas dan membimbing siswa menerbitkan majalah dan buletin.

Dari pengalaman praktis itulah Pak Mulyoto bisa menyajikan buku ini dengan enak, gampang dimengerti dan mudah dipraktikkan. Langkah-langkah bikin majalah sekolah diuraikan secara lengkap mulai dari membentuk dewan redaksi, membuat proposal penerbitan, melaksanakan manajemen keredaksian, melakukan proses layout, hingga proses naik cetak. Membaca buku ini kita bisa belajar dua hal sekaligus: manajemen praktis dan jurnalistik.

Buku ini pantas dijadikan rujukan bagi kamu yang ingin menerbitkan majalah sekolah. Hubungi toko buku terdekat atau penerbit via http://www.andipublisher.com.