Kamis, 06 Desember 2007

Satu Lagi Inkonsistensi dalam Dunia Pendidikan Kita

Sebuah inkonsistensi dalam kebijakan pendidikan kita terjadi lagi. Beberapa buku pelajaran sejarah untuk SLTP dan SLTA dilarang beredar karena tidak mencantumkan fakta sejarah tentang G30S/PKI atau mencantumkan tapi hanya dengan menyebut G30S tanpa embel-embel PKI. Ada 13 judul buku dari 10 penerbit yang dilarang beredar berdasarkan Surat Keputusan Kejaksaan Agung tertanggal 5 Maret 2007. Konon, pelarangan tersebut dilakukan atas “permintaan” Menteri Pendidikan Nasional (Media Indonesia, 26/3).

Hemat saya, pelarangan tersebut tidak konsisten dengan kebijakan pendidikan menyangkut Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan kebijakan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang kini diperkuat lagi dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Tidak konsisten karena berdasarkan kebijakan-kebijakan itu, sekolah dan guru memiliki otonomi, termasuk di dalamnya menyusun kurikulum, memilih metode pembelajaran, dan memilih sumber belajar, tetapi tiba-tiba ada sebuah kebijakan yang melarang penggunaan buku tertentu sebagai sumber belajar.

Tidak bisa dimungkiri, kini kita telah memasuki era keterbukaan. Dalam pembelajaran, sumber belajar kini telah begitu beragam. Di samping buku pelajaran sebagai sumber belajar, kini juga ada sumber belajar berupa majalah, koran, buku-buku umum, dan internet yang kemudahan aksesnya makin hari makin meningkat.

Guru harus mengubah paradigma yang selama ini dirinya sebagai pusat sumber belajar menjadi fasilitator dan motivator yang mengkondisikan siswa untuk belajar. Proses pembelajaran berlangsung demokratis. Guru bukan pemegang otoritas kebenaran. Justru proses dialog antara guru dan siswa yang harus dikembangkan sehingga dalam kegiatan pembelajaran diperoleh sebuah reaksi yang menghasilkan nilai-nilai dan kebenaran-kebenaran yang baru dan kontekstual.

Dalam konteks ini, kebijakan otonomi pendidikan yang semangatnya juga kita temui dalam UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003, dapat dikatakan sebagai kebijakan yang tepat, relevan dan rasional. Tetapi, mengapa kebijakan yang sudah benar tersebut dalam dataran implementasi harus dijegal dan dinodai dengan kebijakan-kebijakan lain.

Selama ini kita sudah sangat risih dengan kebijakan ujian nasional (UN) yang merebut kewenangan guru dalam melakukan evaluasi pembelajaran sebagai satu kesatuan integral kompetensi guru sebagai perencana, pelaksana dan penilai kegiatan pembelajaran. Guru yang dalam UU Sisdiknas No 20 Thun 2003 nyata-nyata disebut memiliki kewenangan dalam mengevaluasi hasil belajar, dengan terpaksa harus rela hati menerima kebijakan ujian nasional. Inkonsistensi ini harus ditebus dengan harga mahal ketika guru tidak lagi peduli dengan tugasnya untuk mendidik siswa untuk cerdas dan berakhlak mulia, melainkan sekadar melakukan drill agar siswa bisa lolos dari jerat ujian nasional.

Lalu kini, ketika guru tidak boleh menggunakan buku pelajaran tertentu, dan mungkin juga (kalau bisa) dilarang menggunakan bahan-bahan dari internet, buku-buku umum yang dijual bebas, dan sebagainya, apa lagi yang akan terjadi dalam dunia pendidikan kita?

Luka Sejarah

Kalau kita cermati, fakta tentang G30S/PKI memang merupakan sebuah luka sejarah yang sangat mendalam. Peristiwa itu telah mengoyak rasa persaudaraan dan kemanusiaan kita sesama anak bangsa. Tentu bisa dipahami kalau kemudian muncul sebuah keinginan agar peristiwa itu bisa dijadikan bahan pelajaran bagi generasi penerus bangsa Indonesia agar tidak terjadi lagi. Proses pembelajaran yang diyakini paling efektif adalah pembelajaran yang dilakukan di sekolah.

Akan tetapi, sekali lagi, itu tidak perlu dilakukan dengan melarang buku-buku tertentu, atau bahkan dengan memaksakan penggunaan buku-buku yang lain lagi – kalau ada. Biarlah pembelajaran berjalan alami, demokratis, dan dinamis. Dalam pendidikan sejarah, misi terpenting yang diemban oleh guru sejarah adalah membelajarkan siswa untuk memaknai fakta sejarah sehingga siswa dapat memetik hikmahnya bagi kehidupan mereka kini dan masa mendatang. Baik hikmah bagi kehidupan secara pribadi maupun bagi kehidupnan dalam bermasyarakat dan berbangsa-bernegara. Yang terpenting dari pembelajaran sejarah yang demikian bukan lagi tentang apa dan siapa, tetapi bagaimana dan mengapa. Bagaimana peristiwa itu terjadi dan mengapa bisa terjadi? Juga, bagaimana agar peristiwa itu tidak terulang lagi.

Selain itu, berikanlah kepercayaan kepada guru untuk menjalankan kewajibannya dalam mendidik anak bangsa. Sumber belajar memang beragam, dan fakta yang sama mungkin akan ditulis oleh sejarah secara beragam pula. Tergantung siapa yang menulisnya. Akan tetapi, dengan proses pembelajaran yang bersifat dialogis, demokratis dan memberi ruang untuk berpikir kritis kepada siswa, dengan dibimbing oleh guru yang professional, niscaya siswa tidak akan “tersesat” pada pemahaman yang salah.

Malahan, siswa akan makin memiliki ketrampilan berpikir kritis untuk menilai mana yang benar dan mana yang salah, atau bahkan untuk tidak memilih mana yang benar dan mana yang salah, karena kebenaran toh tidak mesti hitam-putih. Bisa juga abu-abu. Yang terpenting, ya itu tadi, siswa dapat mengambil hikmahnya bagi kehidupan yang makin baik.

Singkat kata, pelarangan terhadap buku pelajaran hanya karena tidak memuat fakta tentang G30S/PKI atau memuat tetapi tidak menyebut G30S dengan embel-embel PKI hanyalah kebijakan yang tidak memiliki dasar dikdatis-pedagogis yang jelas. Pelarangan itu dilakukan hanya berdasarkan sebuah kekhawatiran yang secara gamang melintas. Dan harus disadari, di era globalisasi informasi seperti sekarang ini, melakukan pelarangan terhadap sebuah informasi untuk masuk atau disebarluaskan merupakan sebuah tindakan sia-sia. Toh, akses untuk mendapatkan informasi kini telah demikian luas dan bebas.

Pelarangan seperti itu justru akan menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan kita. Guru kembali tidak memiliki otoritas untuk mendidik siswa-siswanya, dan siswa akan merasa diberangus kebebasannya untuk belajar dari sumber belajar yang beragam.


Kalau pemerintah tetap khawatir juga akan terjadi penyesatan terhadap generasi muda tentang fakta G30S/PKI, hemat saya, yang paling realistis untuk dilakukan oleh pemerintah adalah membuat buku pelajaran sejarah yang benar dan teruji secara ilmiah dalam konteks ilmu sejarah, lalu membagikan kepada setiap siswa secara gratis dalam bentuk buku paket. Kalau ada buku-buku sejarah lain yang dinilai tidak benar, toh siswa telah memiliki buku sejarah dari pemerintah yang dianggap benar. Mudah, kan?

Tidak ada komentar: