Guru harus mengubah paradigma yang selama ini dirinya sebagai pusat sumber belajar menjadi fasilitator dan motivator yang mengkondisikan siswa untuk belajar. Proses pembelajaran berlangsung demokratis. Guru bukan pemegang otoritas kebenaran. Justru proses dialog antara guru dan siswa yang harus dikembangkan sehingga dalam kegiatan pembelajaran diperoleh sebuah reaksi yang menghasilkan nilai-nilai dan kebenaran-kebenaran yang baru dan kontekstual.
Selama ini kita sudah sangat risih dengan kebijakan ujian nasional (UN) yang merebut kewenangan guru dalam melakukan evaluasi pembelajaran sebagai satu kesatuan integral kompetensi guru sebagai perencana, pelaksana dan penilai kegiatan pembelajaran. Guru yang dalam UU Sisdiknas No 20 Thun 2003 nyata-nyata disebut memiliki kewenangan dalam mengevaluasi hasil belajar, dengan terpaksa harus rela hati menerima kebijakan ujian nasional. Inkonsistensi ini harus ditebus dengan harga mahal ketika guru tidak lagi peduli dengan tugasnya untuk mendidik siswa untuk cerdas dan berakhlak mulia, melainkan sekadar melakukan drill agar siswa bisa lolos dari jerat ujian nasional.
Lalu kini, ketika guru tidak boleh menggunakan buku pelajaran tertentu, dan mungkin juga (kalau bisa) dilarang menggunakan bahan-bahan dari internet, buku-buku umum yang dijual bebas, dan sebagainya, apa lagi yang akan terjadi dalam dunia pendidikan kita?
Luka Sejarah
Kalau kita cermati, fakta tentang G30S/PKI memang merupakan sebuah luka sejarah yang sangat mendalam. Peristiwa itu telah mengoyak rasa persaudaraan dan kemanusiaan kita sesama anak bangsa. Tentu bisa dipahami kalau kemudian muncul sebuah keinginan agar peristiwa itu bisa dijadikan bahan pelajaran bagi generasi penerus bangsa
Akan tetapi, sekali lagi, itu tidak perlu dilakukan dengan melarang buku-buku tertentu, atau bahkan dengan memaksakan penggunaan buku-buku yang lain lagi – kalau ada. Biarlah pembelajaran berjalan alami, demokratis, dan dinamis. Dalam pendidikan sejarah, misi terpenting yang diemban oleh guru sejarah adalah membelajarkan siswa untuk memaknai fakta sejarah sehingga siswa dapat memetik hikmahnya bagi kehidupan mereka kini dan masa mendatang. Baik hikmah bagi kehidupan secara pribadi maupun bagi kehidupnan dalam bermasyarakat dan berbangsa-bernegara. Yang terpenting dari pembelajaran sejarah yang demikian bukan lagi tentang apa dan siapa, tetapi bagaimana dan mengapa. Bagaimana peristiwa itu terjadi dan mengapa bisa terjadi? Juga, bagaimana agar peristiwa itu tidak terulang lagi.
Selain itu, berikanlah kepercayaan kepada guru untuk menjalankan kewajibannya dalam mendidik anak bangsa. Sumber belajar memang beragam, dan fakta yang sama mungkin akan ditulis oleh sejarah secara beragam pula. Tergantung siapa yang menulisnya. Akan tetapi, dengan proses pembelajaran yang bersifat dialogis, demokratis dan memberi ruang untuk berpikir kritis kepada siswa, dengan dibimbing oleh guru yang professional, niscaya siswa tidak akan “tersesat” pada pemahaman yang salah.
Malahan, siswa akan makin memiliki ketrampilan berpikir kritis untuk menilai mana yang benar dan mana yang salah, atau bahkan untuk tidak memilih mana yang benar dan mana yang salah, karena kebenaran toh tidak mesti hitam-putih. Bisa juga abu-abu. Yang terpenting, ya itu tadi, siswa dapat mengambil hikmahnya bagi kehidupan yang makin baik.
Singkat kata, pelarangan terhadap buku pelajaran hanya karena tidak memuat fakta tentang G30S/PKI atau memuat tetapi tidak menyebut G30S dengan embel-embel PKI hanyalah kebijakan yang tidak memiliki dasar dikdatis-pedagogis yang jelas. Pelarangan itu dilakukan hanya berdasarkan sebuah kekhawatiran yang secara gamang melintas. Dan harus disadari, di era globalisasi informasi seperti sekarang ini, melakukan pelarangan terhadap sebuah informasi untuk masuk atau disebarluaskan merupakan sebuah tindakan sia-sia. Toh, akses untuk mendapatkan informasi kini telah demikian luas dan bebas.
Kalau pemerintah tetap khawatir juga akan terjadi penyesatan terhadap generasi muda tentang fakta G30S/PKI, hemat saya, yang paling realistis untuk dilakukan oleh pemerintah adalah membuat buku pelajaran sejarah yang benar dan teruji secara ilmiah dalam konteks ilmu sejarah, lalu membagikan kepada setiap siswa secara gratis dalam bentuk buku paket. Kalau ada buku-buku sejarah lain yang dinilai tidak benar, toh siswa telah memiliki buku sejarah dari pemerintah yang dianggap benar. Mudah,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar