Kamis, 06 Desember 2007

Andai Sekolah seperti AFI


MULYOTO

Andai sekolah seperti AFI, betapa bahagianya siswa. Mereka riang tatkala pagi datang karena membayangkan bakal berjumpa dengan sahabat-sahabat sejatinya. Bertemu dengan para guru yang selalu membawanya pada pengalaman-pengalaman baru. Ah, alangkah senangnya andaikata sekolah seperti AFI. Tidak ada kekerasan, tidak ada kemarahan. Yang ada adalah kebersamaan, komunikasi konstruktif untuk saling berbagi. Kelak, tatkala waktunya datang, satu persatu di antara akademia (sebutan untuk siswa) mesti tereliminasi. Akan tetapi tak ada kemarahan, tak ada penyesalan. Yang ada adalah tetesan air mata. Air mata keharuan. Suatu saat nanti air mata itu akan kembali menetes tatkala mereka diwisuda. Sambil mengucapkan terima kasih yang dalam kepada para gurunya, mereka bertekad: bahwa belajar tak akan pernah terhenti.

Ya. Saya memang sedang berandai-andai. Namun pengandaian saya bukanlah sebagai orang yang sedang memimpikan sesuatu di awang-awang. Pengandaian saya tentang sekolah sebagai AFI (Akademi Fantasi Indosiar) benar-benar didasari oleh kerinduan yang kelewat besar terhadap suasana pembelajaran yang menyenangkan, manusiawi, dan membebaskan. Dan semua itu ada dalam kenyataan, yaitu di AFI. Tiap kali menonton AFI, baik saat konser, maupun saat acara diari, seolah kerinduan itu telah terbayar. Begitulah, bagi saya, AFI tidak sekadar tontonan komersial semata, melainkan juga sebuah model tentang pembelajaran yang ideal.

Ada beberapa inspirasi pedagogis yang bisa kita petik dari fenomena AFI. Pertama, sekolah – sebagaimana AFI – harus memiliki visi dan misi yang jelas. Bagi sekolah, visi dan misi merupakan haluan, acuan atau paradigma bagi segenap insan akademis di sekolah itu. Semua berbuat, bergerak dan berkarya dalam konteks visi dan misi itu. Kejelasan visi dan misi akan menjadi energi bagi siswa dalam belajar meraih kompetensi, juga menjadi kekuatan bagi guru dalam mengabdi.

Coba lihat AFI. Hanya dalam waktu tiga bulan, para akademia (siswa) telah mampu mengembangkan segenap potensinya untuk menjadi seorang entertainmen yang dipuja-puji. Melalui penggodhogan selama tiga bulan di kelas vokal, kelas koreografi, kelas akting, dan kelas konser, para akademia akhirnya bisa tampil beda dari sebelumnya. Konser menuju bintang sebagai wadah para lulusan AFI berekspresi terbukti ditonton oleh ribuan orang. Kasetnya pun ludes dibeli penggemar dalam waktu singkat mencapai puluhan ribu keping. Semua ini merupakan keberhasilan AFI mencapai visi dan misinya yang jelas. Yaitu menciptakan seorang entertainmen sejati melalui pengasahan dan pengembangan segenap potensi yang dimiliki anak didik.

Andai sekolah juga memiliki visi dan misi yang jelas, tentu sekolah tidak akan terombang-ambing. Yang sering terjadi selama ini, sekolah memang mencantumkan visi dan misi di papan-papan strategis, tapi tidak banyak orang di dalamnya yang mengerti apalagi terikat dalam visi dan misi itu. Siswa dan guru bergerak dalam kerutinan seperti yang dulu-dulu. Tidak perlu berpikir mau ke mana program sekolah mau diarahkan. Tidak ada evaluasi menyeluruh terhadap ketercapaian visi dan misi itu, dan tidak ada pembaruan di dalamnya. Setelah lulus, tidak ada kejelasan ke arah mana siswa akan bergerak. Apa yang telah dicapainya juga tidak ada kompetensi yang jelas. Semua masih serba samar karena sekolah tidak didasari oleh visi dan misi yang jelas dan operasional.

Kedua, pembelajaran berbasis kompetensi. AFI, menurut hemat saya, adalah contoh kongkrit bagaimana bentuk pembelajaran yang berbasis kompetensi itu. Berbekal pada potensinya masing-masing, para akademia diasah oleh para ahli di bidangnya. Mereka harus menguasai kompetensi koreografi, kompetensi vokal, kompetensi akting, dan sebagainya yang secara keseluruhan mampu membentuk kompetensi utuh: seorang entertainmen sejati, yang digemari tapi tetap baik hati dan tidak sombong. Di kelas AFI, para akademia belajar secara lengkap. Teori dan praktik. Ranahnya juga meliputi kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (ketrampilan). Dan semua itu pada akhirnya mengerucut menjadi satu: terbentuknya kompetensi sebagai seorang entertainmen.

Sekolah mulai tahun pembelajaran 2004/2005 ini juga akan menerapkan kurikulum berbasis kompetensi. Dengan inspirasi dari AFI, nampaknya segenap guru dan siswa nantinya harus sadar, bahwa di sekolah para siswa belajar untuk memperoleh suatu kompetensi. Yaitu suatu kemampuan yang lengkap meliputi kognisi, afeksi dan psikomotor yang nyata dan berguna bagi kehidupannya. Siswa tidak hanya belajar dalam dataran teori di awang-awang, melainkan belajar dalam konteks kehidupan nyata yang ada di sekitarnya. Belajar tidak hanya dalam bentuk memperhatikan ceramah guru di depan kelas, tetapi justru yang terpenting adalah adanya interaksi demokratis antara guru dan siswa. Belajar dengan mengalami (learning by doing) menjadi salah satu pilar pembelajaran berbasis kompetensi ini.

Ketiga, belajar bukan berwujud penjejalan pengetahuan, melainkan pemaknaan pengetahuan. Bukan berupa transformasi, melainkan internalisasi. Siswa tidak diandaikan sebagai sebuah botol kosong yang akan diisi dengan berbagai ilmu oleh guru. Siswa juga bukan anak pendekar silat yang menerima transfer ilmu (tenaga dalam) dari gurunya. Siswa adalah pribadi yang unik, yang di dalamnya masing-masing menyimpan potensi. Potensi yang masih ada dalam diri siswa dan belum mewujud ini yang akan digali, diasah dan dikembangkan. Caranya, bebaskan mereka berekspresi. Biarkan mereka bergulat dalam pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai tertentu untuk menciptakan struktur kemampuan yang mewujud dalam bentuk kompetensi. Melalui diskusi, praktik langsung, tanya jawab, dan belajar mandiri siswa akan bebas menginternalisasikan materi belajar ke dalam dirinya. Hasilnya, terciptalah sebuah pribadi yang tetap unik, tapi masing-masing telah mempunyai kemampuan nyata yang bisa dimanfaatkannya untuk menopang kehidupannya.

Semuanya itu telah tergambar dalam proses pembelajaran di AFI. Seorang akademia, memperoleh kompetensi bukan dengan berdiam diri. Mereka mesti aktif berproses, aktif bergulat dengan informasi yang diberikan guru-gurunya sembari mempraktikkan secara langsung. Pembelajaran terasa hidup, dinamis, dan menyenangkan. Mereka juga bebas berekspresi, menyampaikan uneg-uneg tanpa beban rasa takut.

Guru berperan betul sebagai seorang motivator dan fasilitator. Hubungan antara siswa dan guru bukan lagi seperti hubungan antara rakyat dan diktator, melainkan hubungan sesama insan pembelajar yang berinteraksi secara manusiawi. Guru tidak memposisikan sebagai orang yang serba tahu dan selalu memonopoli kebenaran. Guru memberikan pembelajaran, tetapi tetap membuka adanya reaksi, respon dan uneg-uneg dari siswa. Ketika terjadi eliminasi, tidak hanya siswa yang meneteskan air mata, para guru pun tidak bisa menyembunyikan rasa kehilangannya karena mereka sudah seperti satu keluarga.

Keempat, pembelajaran kompetitif berbasis kebersamaan. Di AFI, ada nuansa persaingan (kompetisi). Setiap minggunya, satu persatu di antara mereka mesti tereliminasi. Sampai akhirnya tersisa tiga finalis untuk memperebutkan juara utama. Akan tetapi, kompetisi yang begitu keras ternyata tidak harus melenyapkan kebersamaan dan persahabatan di antara mereka. Maka, tidak heran kalau pada tiap terjadi eliminasi, di antara mereka terjadi hujan air mata karena salah seorang di antara mereka harus pulang.

Selama ini, sekolah kita juga memberlakukan kompetisi sebagai cara untuk memotivasi belajar siswa. Antarsiswa dalam satu kelas dibandingkan dengan metode rangking prestasi belajar. Di tingkat antarsekolah, siswa juga dipertarungkan. Perolehan nilai ebtanas (sekarang UAN) dijadikan parameter untuk menilai tingginya kualitas dan kebanggaan diri sekolah.

Akan tetapi yang terjadi, mengapa kompetisi itu terkesan bersifat individual? Dalam sekup kelas, siswa bersaing secara individual. Tidak ada belajar hidup bersama karena antarmereka adalah pesaing satu sama lain. Kalau perlu, dalam belajar mereka saling menjatuhkan satu sama lain. Itu yang selama ini terjadi. Maka jangan salahkan siswa kalau kelak mereka tidak bisa bekerja sama. Mereka telah terbiasa hidup berkompetisi tanpa didasari kebersamaan. Ini merupakan PR bagi kita semua.

Kelima, penilaian berbasis kompetensi. Sebagaimana kegiatan pembelajaran layaknya, di AFI juga menerapkan evaluasi atau ujian. Setiap minggu, para akademia diuji pencapaian kompetensinya. Evaluasi dilakukan oleh para komentator dan penonton. Komentator menilai secara langsung sehabis penampilan, sedangkan penonton menilai via poling SMS. Siapa yang mendapatkan dukungan terbanyak dari SMS, maka dia akan terus melenggang menuju puncak. Yang terpenting untuk kita pelajari dari AFI, penilaian terhadap prestasi belajar siswa dilakukan secara menyeluruh berdasarkan unjuk kerja (kompetensinya). Bukan hanya aspek kognisi dalam bentuk soal-soal teori, melainkan seluruh aspek yang terejawantah dalam bentuk kemampuan praktik (menyanyi).

Bandingkan dengan sekolah kita selama ini. Pembelajaran dituntut menggunakan pendekatan proses, akan tetapi yang diukur hanya aspek hasil dengan soal pilihan ganda. Nilai ebtanas atau UAN didewakan sebagai bukti prestasi, padahal ia hanya mengukur sebagian kecil aspek pembelajaran. Bukannya mengukur kompetensi secara menyeluruh. Inilah yang sering menimbulkan kerancuan selama ini.

Sistem evaluasi yang bersifat parsial itu selama ini telah menjadi sumber malpraktik di sekolah. Pembelajaran tidak lagi berfungsi sebagai proses bergulat dengan ilmu, melainkan sekadar penjejalan materi ebtanas atau UAN dengan sistem drill. Buat apa berpikir capek-capek kalau prestasi bisa dicapai dengan sedikit trik yang bisa diperoleh di bimbingan tes. Efeknya, siswa terbiasa berpola hidup serba instan, serba gampang, dan serba mencari jalan pintas.

Kalau pun ebtanas atau UAN masih tetap diberlakukan, hemat saya, haruslah dipandang sebagai salah satu aspek kecil dari prestasi siswa. Prestasi siswa yang sesungguhnya adalah kompetensi menyeluruh yang tercermin dalam bentuk unjuk kerja dan perilaku. Dan yang menilai itu bukan lagi sekolah atau pemerintah, melainkan masyarakat pengguna mereka. Kalau siswa SMK, yang menilai adalah industri yang akan mempekerjakan mereka. Meski nilai UAN jeblok dan hanya memenuhi syarat untuk lulus, selama unjuk kerjanya bagus, produktif dan kreatif, maka dunia usaha dan industri akan menerimanya dengan tangan terbuka.

Itulah beberapa inspirasi pedagogis yang bisa ditarik dari fenomena AFI. Saya tidak ingin menyamakan sekolah dengan AFI. Saya hanya mengajak kita semua untuk mengoreksi kegiatan pembelajaran kita, sudahkah sesuai dengan prinsip-prinsip pedagogis yang benar. Yaitu pembelajaran yang bersifat manusiawi, menyenangkan, membebaskan dan mengembangkan potensi yang masih terpendam. Bukan pembelajaran yang membunuh dan memenjarakan.

MULYOTO, guru matematika SMK Negeri 1 Pungging Mojokerto

2 komentar:

Icha Rivera mengatakan...

Yups...Menurut saya UN bukanlah jalan mengukur pendidikan nasional di Indonesia.pemerintah memang mengharapkan UN dapat mengukur pendidikan kita yang sudah jauh ketinggalan dengan negara tetangga seperti Vietnam atau Singapura, namun pada realitasnya, UN terjadi dengan setumpuk kecurangan..Di beberapa sekolah terjadi kerja sama antar guru dengan siswa dalam memberi jawaban soal UN, bahkan Un juga kerap dijadikan ajang contek - contekan bagi sejumlah siswa, apakah ini yang dinamakan pengukuran standart pendidikan nasional??!!Banyak siswa yang tidak mendapat nilai murni karena jawaban UN adalah hasil contekan.
UN juga tidak adil karena kelulusan siswa hanya ditentukan selama 3 hari saja, padahal mereka belajar dari kelas 1 sampai kelas 3 (untuk SMP/MTS dan SMA/SMK/MA). bayangkan 3 tahun hanya dihapus 3 hari jika siswa dinyatakan tidak lulus???!!!

DAn mengenai kekerasan..Menurut saya tiap sekolah dalam menerapkan kedisiplinan memang diperlukan adanya kekerasan, namun kekerasan di sini yang saya maksudkan adalah kekerasan yang positif, diamna keberadaanya tidak disalahgunakan. bayangkan saja jika sekolah yang mayoritas siswanya "very naughty", mungkinkah sekolah hanya menegurnya dengan teguran lemah lembut sementara sudah kerap kali dia melakukan kesalahannya tersebut, teguran lembut tidak mempan, kalau tidak dengan sedikit kekerasan untuk mendisiplinkan, apa yang harus dilakukan sekolah??!!!

Mulyoto mengatakan...

Makasih komentarnya. Akan memperluas pandangan kita bersama.