Saya seorang guru. Beberapa waktu lalu, saya bermimpi. Aneh. Saya bermimpi, saya sedang mengajar di sebuah sekolah yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Murid-murid yang saya hadapi nampak gembira di hadapan saya. Dalam mimpi itu, murid-murid begitu antusias saat saya datang. Lalu, dengan perasaan bangga saya memulai pelajaran. Saya hidupkan laptop dan LCD, dan dalam sekejab saya presentasikan materi pembelajaran. Saat saya presentasi, anak-anak didik saya aktif merespon. Kadang, saat saya sedang bicara, ada anak yang tergelitik dan mengajukan pertanyaan. "Silakan!" kata saya menunjuk anak yang mengacungkan tangan.
Begitulah, proses pembelajaran yang ada dalam mimpi saya itu benar-benar menyenangkan. Tidak saja bagi saya selaku seorang guru. Terlihat juga wajah anak-anak yang begitu sumringah penuh gairah. Mereka aktif dalam proses pembelajaran tanpa ada perasaan takut atau terkekang.
Saat jam pelajaran usai, masih dalam mimpi saya, saya keluar dari ruang kelas. Di sepanjang teras kelas, bunga-bunga segar menyapa. Halaman kelas juga nampak asri dengan taman bunga. Beberapa burung gereja berkejaran di antara pohon-pohonan dengan cicitannya yang khas selaras gemericik suara air mancur di kolam ikan kecil.
Bagiku, sekali lagi hanya dalam mimpi, sekolah benar-benar menjadi lingkungan yang nyaman dan asri. Tidak hanya guru yang merasa betah. Siswa pun terlihat selalu riang. Saat tidak ada jam mengajar, saya masuk ruang guru. Di sana beberapa guru sudah ada di mejanya masing-masing. Semua sibuk dengan laptop masing-masing. Kalau agak penat, kadang kami ngerumpi. Bukan tentang mahalnya harga-harga barang kebutuhan pokok akibat kenaikan BBM. Bukan tentang, rengekan anak yang minta dibelikan baju lebaran, juga bukan tentang tetek bengek masalah rumah tangga. Kami ngerumpi, atau tepatnya berdiskusi, tentang siswa. Tentang pembelajaran. Tentang hasil penelitian tindakan kelas yang selalu dilakukan tiap guru. Kami sesaam guru selalu terbuka terhadap masukan teman sejawat. Dan semua itu kami lakukan bukan untuk siapa-siapa, kecuali siswa.
Bagi kami, fokus selalu tertuju pada kemajuan belajar siswa. Kepuasan kami sebagai seorang guru tergantung hanya pada keberhasilan siswa kami yang terlihat dari pencapaian kompetensi mereka. Tidak hanya kompetensi pengetahuan atau sekadar ketrampilan, tapi juga kompetensi sikap hidup. Internalisasi pengalaman belajar mencakup seluruh ranah secara komprehensif. Ya, kognisi (pengetahuan), psikomotori (ketrampilan), juga yang tak kalah pentingnya ranah afeksi (sikap). Singkatnya, segenap potensi siswa sangat kami hargai dan oleh karena itu kami kembangkan secara seimbang. Bagi kami, mereka adalah bibit-bibit padi yang kami tanam di tanah yang kami usahakan sesubur mungkin, dan kami berbuat sebagai seorang petani: menciptakan situasi yang kondusif bagi bibit padi untuk tumbuh dan berkembang hingga akhirnya berbuah secara maksimal.
Kami bisa selalu fokus terhadap kemajuan siswa, bahkan kemajuan siswa secara individual. Kalau ada siswa yang bermasalah, kami selalu tahu, dan berusaha membantu mencari solusi hingga siswa terlepas dari beban masalah. Masalah apapun: kesulitan belajar, masalah pribadi, masalah hubungan dengan orang tua, dan lain-lain.
Tapi, ya itu. Semua hanya ada dalam mimpi. Ketika aku terbangun, aku kembali menyadari akan keberadaanku yang sangat jauh dari mimpi itu. Aku sebenarnya sangat malu menceritakan mimpi itu, karena mungkin ini hanya sebuah mimpi konyol. Aku tidak yakin bahwa suatu saat mimpi ini bisa menjadi sebuah kenyataan.
Tanggal 25 Nopember ini, kembali kita akan memperingati hari guru. Konon, ada kado istimewa dari Mendiknas - tepatnya pemerintah. Kabarnya, hari itu, RUU Guru akan disahkan, dan itu berarti akan ada perubahan signifkan pada eksistensi guru. Guru akan digaji sekitar 300% dari gaji PNS non guru untuk golongan yang sama. Karena konstitusi (UUD 45) hasil amandemen MPR telah memasukkan ketentuan 20% APBN harus untuk pendidikan, maka bukan tidak mungkin memang akan ada perubahan besar pada kehidupan guru.
Tapi apakah betul begitu? Sekali lagi, saya tidak berani berharap. Kami takut berharap terlalu besar atas kebaikan hati pemerintah hanya akan menciptakan luka. Kami hanya bisa berbuat sebaik-baiknya dalam batas-batas keammpuan kami. Kami sudah hapal betul akan jurus berkelit pemerintah. Bahkan saat konstitusi yang secara eksplisit menyebut angka 20% untuk anggaran pendidikan saja masih bisa diakali dengan istilah dilaksanakan secara bertahap. Kami, terus terang, tidak berani berharap.
Berkali-kali kami hanya bisa mengetuk hati nurani. Pendidikan itu sebuah investasi jangka panjang. Memang tidak bisa hasilnya dirasakan dalam waktu singkat. Baru beberapa tahun ke depan hasil itu bisa terlihat dalam bentuk sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Dan untuk investasi itu memang dibutuhkan modal yang besar. Selama hal ini tidak pernah bisa dipahami, mustahil SDM kita berubah. Dan, saya, seperti guru-guru yang lain, selalu akan terus bermimpi.
1 komentar:
Bisa saja mimpi itu terjadi! Suatu saat, entah kapan. Sekarang, biarlah mimpi itu tetap mimpi. Nanti ketika pendidikan telah menjadi prioritas kebijakan pemerintah, mungkin mungkin mimpi itu akan jadi nyata. Atau, agar tak kecewa, tak perlu berharap pada pemerintah. Marilah berjuang tanpa pamrih, berdasarkan kemampuan yang kita miliki.
Posting Komentar