Tiap ajaran baru, saya menjadi salah satu interviwer bagi calon siswa baru dan orang tuanya. Di sekolah kami, seleksi bagi calon siswa baru memang tidak hanya berdasarkan nilai ujian nasional (SKHU), melainkan juga dari tes tulis dan tes wawancara. Meski nilai ujian nasionalnya tinggi, kalau nilai tes tulis dan wawancara jeblog, calon siswa bisa gigit jari alias terdegradasi dari rangking yang lulus.
Meski bobotnya sedikit (10%), panitia sudah berusaha agar hasil tes wawancara bersifat objektif. Maka pertanyaan dan pedoman jawab serta penskorannya dibuat sedemikian rupa. Saya menggunakan instrumen itu untuk mengajukan pertanyan demi pertanyaan.
Karena sudah biasa, maka wawancara berjalan lancar-lancar saja. Hingga suatu saat, ada seorang bapak justru mengajukan pertanyaan kepada saya. "Pak, kalau anak saya diterima di sekolah ini, berapa biaya yang harus saya keluarkan untuk keperluan daftar ulang dan sumbangan dana pengembangan sekolah?"
Saya pun menjawab dengan lancar. Tidak ada masalah. Uang seragam, uang awal tahun ajaran baru sekitar Rp 400.000,00. Lalu uang pengembangan sekolah minimal Rp1.800.000,00 dibayar separuh dulu.
Begitu lancarnya saya menjawab, sampai saya tidak begitu memperhtikan respon si Bapak. Saya baru tersadar akan adanya masalah ketika melihat si Bapak tiba-tiba bengong dengan pandangan kosong. Mata itu masih memandang saya, tapi terlihat pandangannya jauh, entah ke mana. Bibirnya bergetar.
Dan ketika kuajukan beberapa pertanyaan kepadanya, dia tidak menjawab apa-apa. Pikiranya lagi blank. Lalu dia bergumam, "Mahal sekali, ya?"
Saya terdiam. Pendidikan memang mahal, apalagi bagi orang-orang yang kurang beruntung seperti Bapak ini. Entahlah, saya menjadi kurang bersemangat melakukan wawancara.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar